Bhutto
by: Gunawan Muhammad
Sejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa menit setelah pukul 5:30 sore 27 Desember 2007 itu, seorang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru selesai berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Setidaknya, itulah cerita menurut beberaoa saksi: tokoh politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya ke luar kap atap. Sebuah tembakan terdengar. Sebuah bom meledak. Benazir rubuh. Dengan cepat mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul 6: 16, ia tak bernyawa lagi.
Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun orang itu histeris.
“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”.
Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951. Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas, ditembak, setelah berpidato di taman yang sama – sebuah alun-alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.
Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dikabulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Benazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia telah membunuh seorang lawan politiknya…
Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?
Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan. Tiga dari empat dari anak Zulfikar dengan isterinya, Nusrat, tewas. Di tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan polisi Pakistan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan kolumnis, tak pernah memaafkan Benazir, sang bibi.
Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan mengelola konflik, sejarah kekecewaan.
Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan diri, hingga kedua republik itu lahir di tahun yang sama, 1947. Tapi sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan ekonomi, Pakistan – dalam kata-kata Penulis Tariq Ali di kotan The Guardian pekan lalu – hanya sebuah “conflagration of despair”, rasaputus asa yang menjalar bagaikan gelombang api.
Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembunuhan politik. Tapi sampai hari ini demokrasi di India bisa bertahan, (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan seperti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 9% setahun.
Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sampai 7%. Aktifitas politik dan pers di negeri itu lebih bebas ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuarium. Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ketak-pastian. Tiap rezim yang dijaga bedil tentara adalah sebuah rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri. Maka berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat. Dalam keadaan bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.
Kenapa? Karena “Islam”?
Saya kira bukan. “Islam” adalah sebuah nama yang maknanya dirumuskan dengan beberapa patokan yang tetap. Yang sering diabaikan ialah bahwa patokan itu – katakanlah hukum syari’at — tak selamanya mampu mewakili “Islam” yang dianggit, yang diimajinasikan secara sosial dalam sejarah – imajinasi yang berlapis, beragam dan mengalir terus seperti, untuk memakai istilah Castoriadis, “magma.”
Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa pengertian tentang identitas “Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai seperti briket bata. Iqbal menganggap gampang dan jelas agenda mendirikan negeri kaum Muslimin tersendiri. Ia tak melihat bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung konstruksi atas arus yang “magmatik”. Konstruksi itu ditentukan oleh sebuah “pusat.” “Pusat” itu adalah sang pemenang dalam pergulatan mencapai posisi hegemonik.
Saya katakan “pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap perumusan identitas sosial. Itulah yang tak dilihat Iqbal. Ketika Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan segera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik paranoia yang mencemaskan.
Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun imajinasi bersama dan memberi makna bersama. Machiaveli mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan bukan sebagaimana “seharusnya,” melainkan sebagaimana “adanya.” Politik sebagaimana “adanya” adalah yang kemudian dirumuskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das Politische: di dasarnya adalah antagonisme.
Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakistan dilaksanakan. Tapal batas digariskan terkadang dengan seenaknya dari meja para administratior Inggris. Syahdan, sebanyak 14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru itu belum siap mengelola sebuah migrasi besar-besaran, kebingungan yang meresahkan berakhir dengan bentrokan yang meluas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal retak – dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.
Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci murni. Tapi bila India lahir tanpa memakai label agama, dan sebab itu mengakui dirinya tak sempurna – hingga lebih siap menghadapi apa yang busuk, brutal, dan bingung dalam tubuhnya – dalam kasus Pakistan label “Islam” telah menutupi apa yang cacat dan yang celaka – juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan – atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa ditolak, bahwa “Islam” dan “Pakistan”, (ya, bahkan “Bhutto”), adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh.
“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan” – dan berkali-kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi.
~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXVI/31 Desember – 06 Januari 2008~
~dengan perbaikan dari penulisnya~
ya semoga negeri kita “indonesia” juga terselamatkan, walau banyak istigosah-istigosah massal dilakukan, berdoa diseragamkan, dirampak sekar-kan, di koor-kan. dan berkali-kali bencana terjadi di sini.
LikeLike
sungguh sangat mengerikan dan memprihatinkan memang. multiproblem tumplek blek tak satupun serius diselesaikan.
LikeLike
sejarah
sejarah telah menjadi bukti dari penjarahan zaman yang dibolak-balik menjadi mimpi penguasa. Setidaknya untuk saat itu sejarah telah berulang dan selalu berulang tatkala dunia tidak lagi berbalik dengan mengatasnamakan keadilan versus ketidakadilan. Apa pun yang telah menjadi cerita sudah lazim dikesampingkan oleh sebuah cita-cita. Dan apa pun yang tidak lazim menjadi cerita, telah dikhianati sendiri oleh kebiadaban nurani yang terpecah.
Bukti adanya kejujuran terbuka dan ketersembunyian angan-angan telah mengkodratkan sang birahi menjadi watak laki-laki/maskulin dan bersumbar dengan ketiadaan bra yang menganga di pundaknya. Saat itulah feminisme beredar kabar tercerahkan oleh mitos tersembunyi dari ketidakadilan yang didulang dalam kemasan sarkas yang jinak.
Mudah untuk membakarnya disaat ketiadaan kebencian, ketiadaan peperangan, ketiadaan kesanggupan, ketiadaan harapan. Menjadi bom dan menyebarkan berpaku-paku rutinitas tajam siap membidik dada terbelah. Siap membongkar otak terjungkal, dan siap menaburkan bibit-bibit unggul dalam peleburan onani kemanusiaannya.
siapkan kita dengan buntelan tai yang bertaburan bunga segar di pagi hari?
setidaknya dengan perlawanan sejati, tiada henti, berbondong-bondong dengan bendera merah darah dan tetesan air liur/ngiler terhadap kebebasan, menjadikan biduk itu terbang dan mengunci setiap kata-kata, setiap syariat, setiap tancapan penis biru karena tergesek ironi.
cahya gumiran lakuning jagat
jer mangawulo jagat
lakon dramatisasi lokal dalam percikan dewantara
ngluruk tanpo bolo
sekti tanpoaji-aji
sugih tanpo bondho
menang tanpo ngasorake
terpendam rapat-rapat dalam kotang kota verbal kemiskinan struktural yang terencanakan.
Mati!
LikeLike