tak ada sekat meski ragam

Persahabatan bukanlah pelajaran yang bisa anda dapatkan di sekolah. namun, jika tidak mempelajari arti persahabatan, anda pasti tidak akan mampu mempelajari apapun (Muhammad Ali, Petinju Legendaris Amerika Serikat)

aku (berkerudung biru) bersama-sama panitia dan peserta lainnya, di depan gedung GKP

aku (berkerudung biru) bersama-sama panitia dan peserta lainnya, di depan gedung GKP

aku terbiasa memaknai suatu momen. tak peduli momen itu besar, kecil, biasa, luar biasa, maupun tragis. meski lagi-lagi, aku akan menyesal karena hanya bisa memaknai di hati dan pikiran saja. aku terkadang ogah membahasakannya. ogah karena malas ataupun tergoda hal lain selain menulis. no more drama. ya, selagi ingin itu menggebu-gebu, akupun tak mungkin mengabaikan inginku berlama-lama. sepertihalnya inginku berbagi cerita, tentang hidup. makna hidup. lagi-lagi memang tentang hidup. karena kita hidup, setiap waktu hanya hidup dan hidup. apapun aktifitasnya, kita sedang hidup. dan kali ini adalah tentang pengalaman pertamaku sejajar dalam ragam. ragam keyakinan, ragam usia, ragam jenis kelamin, ragam suku, dan tentu saja ragam pola pikir.

sederhana saja, aku menemukan ragam-ragam itu dalam “Pelatihan Interfaith Journalism”. momen-momen itu selalu terkesan biasa. yang membuat istimewa adalah ketika kita bisa mengambil makna dibalik yang sederhana itu. meski mungkin hanya sedikit sekali. di sini, aku benar-benar diberi kesempatan mengenal mereka yang sebelumnya dipaksa menjadi asing. ya, selama dua hari aku tidur, berwacana, dan melepaskan egoisitas kita selama ini. 80% dari peserta adalah Pendeta. Pendeta laki-laki maupun perempuan. dan sampai kini, masih ada sosok yang terus membuatku ingin lebih mengenal sosoknya. namanya Pendeta Kamila, aku tidak ingin menyebut umurnya. yang pasti, dia benar-benar memberikan pencerahan tersendiri buatku.

Harmoni di tengah konflik

Bu Kamila, begitu aku menyebutnya. dia unik, ceria, tak pernah aku melihatnya cemberut, dia keibuan meski belum menjadi seorang ibu dan seorang istri, dia membimbing, dan memahami aku yang berbeda keyakinan denganya. sampai saat ini aku masih teringat kisahnya. tentang pengalaman menganut tiga keyakinan (Islam, Kristen, Kong Hu Chu). tentang perlawanannya kepada tradisi patriarkat dan mengikat. tentang pilihan-pilihannya yang  jarang dipilih oleh orang kebanyakan. dan juga tentang rasa tulus yang tak mampu dilukiskannya. “aku hanya ingin terus memberi,” begitu dia membahasakannya padaku. tentu saja, aku bisa memahaminya. sangat. dan dalam satu momen, kami sama-sama tengah belajar tentang  jurnalisme damai. aku membahasakannya “jurnalisme damai: meenciptakan harmoni di tengah konflik”. kami begitu menikmati dan tak ragu-ragu memaksimalkan pelatihan itu dengan banyak berdiskusi dan praktik sekaligus.

“Dalam memuat berita konflik, kami berusaha menyampaikan dari sisi humanismenya, bukan peristiwanya itu sendiri. Jadi dalam memuat berita peperangan itu, pada dasarnya sudah disaring dari sisi humanismenya. Sehingga yang diberitakan bukan fakta per fakta tanpa misi yang jelas.” Demikian disampaikan Sartono, salah seorang editor Harian Umum KOMPAS Jabar, dalam acara bincang-bincang bersama peserta ”Pelatihan Interfaith Journalism”, di ruang pertemuan, KOMPAS Jabar, Bandung, pada Selasa (18/11/08) lalu.

berdiskusi langsung dengan beberapa dewan redaksi KOMPAS Jabar di Bandung

berdiskusi langsung dengan beberapa dewan redaksi KOMPAS Jabar di Bandung

Dalam acara yang digelar oleh MS GKP, JAKATARUB, INCReS ini, Sartono juga menekankan, kebanggan dan keberhasilan wartawan bukan pada menyiarkan berita apa adanya, tetapi ada sensor. Jurnalistik juga jangan berpihak pada pihak manapun, tapi harus pandai menempatkan diri. Seperti menulis berita di Aceh dan Ambon. Dalam hal ini, wartawan bukan sebagai provokator atau sebagai pihak penyelesai masalah. “Tapi setidaknya kita memberi pemikiran untuk meredakan konflik yang terjadi, bukan malah membuat panas suasana, sehingga konflik menjadi lebih seru,” tandas Sartono di depan seluruh peserta pelatihan.

Kami juga diberi kesempatan melakukan kunjungan ke kantor KOMPAS Jabar. peserta pelatihan memang secara khusus berdiskusi tentang Jurnalisme Damai. Yakni jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berorientasi dan berdampak terciptanya perdamaian. Istilah ini bisa juga digunakan untuk membedakannya dari “Jurnalisme Perang”. Jenis jurnalisme yang mengobarkan peperangan dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif, intimidasi, dan desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya mengobarkan konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang.

Jurnalisme damai sendiri memberi tawaran baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia yang menyertainya.

Saat konflik bermunculan pasca tumbangnya Orde Baru, kalangan pers Indonesia belum memiliki pengalaman dalam meliput konflik yang melibatkan pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selama Orde Baru, media tidak pernah secara telanjang dihadapkan dengan kerusuhan agama yang demikian besar, luas, panjang, dan melibatkan emosi pemeluk agama, baik Islam maupun Kristen.

di depan gedung Kompas Jabar

di depan gedung Kompas Jabar

Hingga era Orde Baru berlalu, pers belum mampu dan tidak memiliki strategi untuk menurunkan liputan tentang konflik yang mengandung unsur SARA. Dalam hal ini, media terlihat gamang. Kegamangan yang bukan hanya bersumber dari kebingungan bagaimana harus menempatkan diri di tengah-tengah konflik agar tidak meluas, tapi juga bingung untuk menempatkan media itu di antara berbagai kelompok yang ada agar tetap bertahan. Alhasil, yang muncul hanya dua alternatif: Terlibat dan memihak atau menghindari konflik. Realitas inilah yang kemudian memunculkan “jurnalisme damai”.

Sehari sebelum berkunjung ke kantor KOMPAS Jabar, Senin (17/11/12), peserta yang terdiri dari 22 aktivis lintas iman ini, juga telah mendapatkan materi seputar jurnalistik dasar. Beberapa di antaranya disampaikan wartawan TEMPO, Rana Akbari Fitriawan, tentang bagaimana menulis berita dan feature serta bagaimana melakukan wawancara dan reportase yang baik.

Sementara itu Bambang Q Anees, seorang penulis buku dan kolumnis, menyampiakan tentang bagaimana menulis kreatif: artikel dan kolom. Kemudian Iip D Yahya, seorang penulis produktif, mencoba berbagi pengalaman tentang manajemen redaksi dan praktik membuat news letter.

Selain menerima materi, seluruh peserta juga diberi kesempatan untuk melakukan reportase ke lapangan. Di antaranya reportase ke Gedung DPRD Tingkat I Bandung, reportase acara seminar tentang Korupsi di kantor KOMPAS Jabar, dan reportase ke Lembang tentang ”Semiloka Pembentukan Lembaga Penelitian dan Pembinaan GKP”yang tengah digelar Gereja Kristen Pasundan (GKP) selama dua hari.

Menurut Ketua Pelatihan, Pendeta Supriatno, banyak cara pandang masyarakat yang begitu dipengaruhi oleh media. Sebab, media tidak hanya bertugas memaparkan realitas, tetapi juga merekonstruksinya. Media melakukan pemaknaan atas peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. ”Oleh sebab itu, kita membutuhkan warna media yang melintasi kode etik kejurnalistikan. Apa yang kita sebut sebagai komitmen moral. Yakni, Visi yang berorientasi kepada nilai-nilai kejujuran, keadilan, keseimbangan yang mengarah pada perdamaian,” Ungkap Pendeta Supriatno.

kpsMaka, lanjut dia, majalah Lintas Iman Bianglala bekerjasama dengan MS GKP, JAKATARUB, INCReS menyelenggarakan kegiatan pelatihan di bidang kejurnalistikan. Selain itu sekaligus sanggup memanggul tanggungjawab moral dalam menciptakan pemberitaan yang seimbang, yang berorientasi kepada nilai-nilai perdamaian tersebut.

”Kami juga berharap, mampu mengukuhkan komitmen perdamaian bagi para aktifis lintas iman se-Jabar. Membekali ketrampilan praktis bagi para aktifis lintas iman. Terutama dalam bidang jurnalistik yang berorientasi kepada konsep jurnalisme perdamaian,” papar dia.

Sosok yang akrab disapa ”Pak Pri” ini, juga menekankan agar peserta mampu mewujudkan media jurnalistik internal yang sehat, bertanggungjawab dan berorientasi dalam membangun perdamaian antar sesama. Bukan untuk memperkeruh suasana.

Indah, indah, dan indah. bagiku seperti itu, ketika menyadari betapa berharganya kesempatan ini. apalagi tentang malam panjang yang membuat aku dan bu Kamila serta teman-teman Pendeta lainnya mulai berbagi. malam hari menjelang pagi, bu Kamila juga tak segan-segan membangunkanku untuk qiyamullail dan solah subuh. nikmat itu hanya ada di hati, dan selamanya terus melekat mengiringiku berproses menjadi apapun.

terima kasih tuhan (yang ada di manapun), terima kasih teman-teman fahmina yang memberi kesempatan agar aku ikut acara ini, dan terima kasih untuk semua sebab yang mengakibatkan aku merasakan momen indah ini.