Menerawang Negeri Kincir Angin

“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih.” (kutipan surat Kartini kepada Ny Ovinksoer, 1900)

Oleh: Alimah (4 April 2009)

Membaca Surat Kartini, seakan diajak menelusuri ruang pikir perempuan yang hari lahirnya diperingati setiap 21 April ini. Negeri kincir angin memang selalu memiliki daya tarik tersendiri. Meski sekadar menengok dari gambar dan mengetahui dari pengalaman sejumlah orang, saya sudah bisa merasakan bagaimana suasana dan kultur belajar di negei belanda. Tak heran, sosok-sosok lain seperti Sutan Syahrir sang ”Bapak Sosialis”, Tan Malaka sang ”Bapak Revolusioner”, Soekarno sang ”Bapak Proklamator”,  Muhammad Hatta sang ”Bapak Koperasi”, dan sang-sang lainnya yang pernah menggoreskan sejarah hidupnya belajar di negeri Belanda. Dalam hal ini, memori saya seakan disuguhkan kembali, tentang sejarah panjang hubungan dua negeri, Indonesia dan Belanda.

Belajar menjaga lingkungan hidup

Ya, berfikir tentang belajar di negeri kincir angin, mau tak mau menggiring saya pada perjalanan masa lalu Indonesia. Rasanya, imaji ini seakan telah lebih jauh mendahului tubuh. Apalagi ketika membayangkan menyenangkannya berdiskusi di bawah pohon di sekitar kampus di Holland, terutama setiap usai mengikuti kelas, berdiskusi sambil menikmati keindahan alam Holland. Rasa nyaman itu, pun mungkin tak beda jauh ketika saya menelusuri sepanjang jalan menuju pengeboran minyak PT Pertamina di Indramayu. Sepanjang pinggir jalan itu, saya dan seorang kawan disambut barisan pepohonan berderet rapi nan rindang. Pepohonan itu tumbuh berpuluh tahun silam, tepatnya ketika Belanda masih menduduki Indonesia. Ya, para kompeni begitu peduli dengan persoalan lingkungan hidup. Meski realitasnya, kini mulai tak terpelihara lagi.

Hal serupa juga terlihat jelas di Kota Malang. Sebagai kota yang berkembang dari cikal bakal kota kolonial Belanda, Malang syarat akan bentukan fisik (tata lingkungan, bangunan), yang mempunyai nilai historis dan arsitektur. Selain itu juga menjadi bukti, bahwa pernah populernya suatu mahzab tata kota dan arsitektur tertentu (masa kolonial). Unsur lingkungan alam kota Malang sangat dominan, serta bentukan lingkungan buatan (bangunan dan elemen tata kota) dan kehidupan masyarakat telah memeberikan citra spesifik kota Malang.

Di tangan para kompeni, kota Malang dibangun dengan mempertimbangkan persoalan ekosistem. Sayangnya, di tangan negeri yang dikenal ramah ini, semua kenyamanan itu berubah drastis. Indonesia yang dulu sejuk dan nyaman, kini begitu sporadis dan hanya menuruti mekanisme pasar. Masyarakat Indonesia, terus berlomba mendirikan gedung pencakar langit nan mewah dan praktis. Alhasil, Indonesia yang dulu sejuk nan nyaman, kini menjadi panas dan tidak sejahtera. Bahkan untuk urusan laju pengrusakan hutan, Indonesia telah mencatat rekor dunia. Berdasarkan data laporan State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan UN Food and Agriculture Organizations (FAO) di Roma Italia, disebutkan bahwa dari periode 2000-2005 rata-rata kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,871 juta hektare per tahun. Bila dianalogikan, angka kerusakan hutan di Indonesia ini setara dengan 300 lapangan sepakbola setiap jamnya. Fakta bahwa hutan Indonesia amat penting bagi dunia. Apakah fakta ini kemudian membawa kesadaran bagi penduduk bangsa ini untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia.

Ya, lagi-lagi ini hanya mengingatkan, bahwa kita perlu belajar dari Belanda. Saya jadi teringat kata-kata Mario Teguh, jika kita mampu untuk melihat masa lalu tanpa penyesalan, jika kita mampu menjalani masa kini dengan bahagia, dan jika kita mampu untuk melihat masa depan tanpa rasa ragu. Maka kita telah menjadi pribadi yang utuh. Ada yang menarik di balik kalimat tersebut, salah satunya tentang cara pandang kita tentang masa lalu tentang sejarah. Dan Belanda adalah bagian dari masa lalu Indonesia. Apakah mutual ataukah parasit, semua itu tergantung cara pandang kita kini.

Dalam hal lingkungan hidup, Indonesia tentu tidak bisa mengelak jejak Belanda yang telah menorehkan beragam nilai. Termasuk persoalan air yang bisa memicu banjir, harus bisa dikendalikan dan juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Apalagi, secara tidak langsung air merupakan bagian dari budaya Belanda. Sampai saat ini, warga Belanda sendiri bertekad dalam menyiasati alam yang sebenarnya tak terlalu bersahabat. Karena sepertiga daratan di Belanda lebih rendah dari muka air laut.

Jika Belanda berhasil membendung laut untuk mengatasi bencana, Indonesia malah tak berdaya menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi. Sebut misalnya banjir pasang di pantai utara Jakarta yang rutin datangnya. Banjir tahunan yang melanda sejumlah kawasan di Indonesia, terutama di Jakarta, juga tak teratasi, hingga banjir lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlarut-larut tanpa kepastian penanganan.

Bahkan tsunami yang melanda Aceh dan berpotensi terjadi di daerah lain di Indonesia, pun masih disikapi setengah hati. Di Aceh, rumah-rumah tetap dibangun di tempat yang sama, yang dulu pernah disapu tsunami tanpa ada penghalang untuk menghadapi laut yang sewaktu-waktu mengancam. Sebagai negara yang rawan bencana, Indonesia tidak memiliki kepekaan untuk mengelola lingkungan. Padahal, kunci untuk mengurangi dampak bencana adalah dengan melakukan mitigasi bencana.

Alam sebenarnya bukan masalah. Tetapi, manusia mesti belajar beradaptasi dengan alam. Dalam hal ini, Belanda adalah contoh negara yang gigih menghadapi tantangan alamnya. Air adalah problem bagi seluruh Belanda. Nama Netherlands pun sejatinya berasal dari kata Belanda neder yang berarti rendah dan land yang berarti tanah. Karena itu, mereka sudah sejak lama berjuang melawan laut yang terus merangsek ke daratan. Bendungan pertama dibangun Belanda seribu tahun lalu, danau-danau dikeringkan, polder dibuat, dan ketinggian air dikontrol agar daratan Belanda tetap mengapung. Di Indonesia, untuk membuat proyek pengendalian kanal banjir di Jakarta yang sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda pun terseok-seok dan belum selesai hingga sekarang. Sampai kapan kita mau belajar terhadap bencana yang datang bertubi-tubi?

Belajar Memelihara Nilai dan Produk Budaya

Ketika pertama kali mengungkapkan mimpiku belajar di salah satu Universitas Belanda, spontan salah seorang temanku berseloroh, ”kalau sudah sampai di Belanda, tolong bawakan wayang kulit dan buku-buku tentang budaya Indonesia.” Saat itu selorohnya membuatku miris. Ya, banyak sekali referensi tentang budaya yang ada di Indonesia serta benda-benda bersejarah yang mungkin hanya bisa kita temukan di Belanda.

Menelusuri sejarah kebudayaan Indonesia, mau tidak mau mesti berhubungan dengan negeri Belanda. Terutama budaya Sunda, banyak arsip dan artefak penting yang disimpan di Belanda hingga kini masih dipelihara dengan baik. Meskipun sejatinya, kebudayaan diwariskan dan terus berkembang seiring dengan bekembangnya akal manusia. Termasuk dalam bidang pendidikan.

Lagi-lagi, ini kembali mengingatkan kita akan sejarah negeri ini. Sekolah-sekolah di Hindia Belanda, didirikan karena pihak pemerintah dan perusahaan milik Belanda memerlukan pekerja yang terlatih. Dengan cara meningkatkan pendidikan di kalangan pribumi diharapkan kebutuhan itu dapat terpenuhi. Selain itu, program tersebut merupakan salah satu kebijakan etis pihak Pemerintah Belanda waktu itu.

Sayangnya, kini pendidikan kita mulai dipertanyakan, mengapa hasilnya tidak memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri?  Mengapa bangsa kita mudah larut dalam pengaruh budaya yang datang dari luar?  Mengapa budaya asli kita serta merta larut dalam budaya global yang datang? Pendidikan kita selama ini menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak?. Seharusnya sejarah kelam negeri bekas jajahan seperti Indonesia, tidak merasa selalu terjajah dan senantiasa menaruh rasa curiga. Seharusnya tidak ada lagi, viktimisasi (perasaan menjadi inferior), sebagai bangsa jajahan sejak tiga-empat abad terakhir. Karena hal itu hanya akan menumbuhkan mentalitas bangsa jajahan, yang selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan kaki penguasanya.

Sebelumnya, pendidikan memang hanya dimaksudkan untuk ”mencetak” dan menyiapkan manusia yang siap mengabdi kepada kepentingan penjajah. Bukan seperti yang diteorikan Paulo Freire, bahwa pendidikan harusnya mempu melakukan proses penyadaran atau konsientisasi. Ini pula yang menyadarkan bahwa mata pena lebih tajam dari sebilah pedang. Itulah yang dibuktikan Van Deventer, seorang sosialis dan tokoh di balik lahirnya politik etis (etische politiek).

Melalui artikel berjudul ”Hutang Kehormatan” yang dimuat majalah de Gids (1899), Van Deventer mampu merubah Pemerintah Hindia Belanda dalam melaksanakan pendidikan termasuk sistem pendidikan di negeri jajahannya. Dalam artikelnya itu, Van Deventer menyatakan, melalui tanam paksa (cultuur stelsel) yang pelaksanaannya dipaksakan Gubernur Jenderal Van den Bosch, Belanda meraup hasil panen yang amat berlimpah. Keuntungan yang diperoleh Belanda tahun 1867-1878 saja mencapai 187 juta gulden. Bagi Van Deventer, keuntungan ini merupakan utang Belanda kepada rakyat Indonesia dan harus dikembalikan, entah dalam bentuk apa.

Tidak hanya pendidikan, Van Deventer juga menekankan perlunya pembangunan irigasi dan emigrasi. Kelak ketiga anjuran Van Deventer ini dikenal dengan Trilogi Van Deventer. Politik etis pun dijalankan, bahkan mendapat bantuan 40 juta gulden. Dari keadaan itulah lahir gagasan untuk membuat pendidikan modern bagi bumiputra. Salah satu pencetus gagasan itu adalah Snouck Hurgronje. Namun, muncul pertanyaan, pendidikan macam apa yang pantas dikembangkan di Hindia Belanda? Maka, di Hindia Belanda lahir sejumlah sekolah rendah berbahasa pengantar Belanda.

Di sinilah, mengapa kita perlu belajar banyak dari negeri Belanda. Lebih-lebih ketika kita berkesempatan langsung belajar di negeri Belanda. Selain menyuguhkan model pembelajaran lebih baik, referensi, akses dan fasilitas, juga kultur belajar yang sangat strategis. Tengoklah sosok yang saya sebutkan di atas, kultur Belanda memberikan sumbangsih tersendiri terhadap akar-akar pemikiran mereka. Dan yang tak pernah luput dari sorot idealisme saya adalah sosok Van Deventer, Tan Malaka, Syahrir, Hatta, Soekarno, dan persahabatan Kartini dengan sejumlah perempuan Belanda.Dimana tak ada sekat meski dalam ragam. Ya, berkesempatan belajar di Holland tak sekadar belajar ala akademisi, banyak hal yang bisa diraih di sana. Meski persahabatan bukanlah pelajaran yang bisa kita dapatkan di sekolah. Namun, jika tidak mempelajari arti persahabatan, pasti kita tidak akan mampu mempelajari apapun, setidaknya demikian wejangan Muhammad Ali, sang Petinju Legendaris Amerika Serikat. Pun keberadaanku kelak di manapun berpijak. Karena sejatinya, akuhanya ingin membaca segala, menulis dari segala, menyimpulkan, menilai, bergerak, membaca lagi, menulis lagi, menyimpulkan lagi, bergerak lagi, tapi tak perlu jungkir balik, tak perlu mengejar tanpa arah, dan sadarkan diri tetap berpijak di bumi.