Berharap Membantu Orang Tua, Lima Perempuan Asal Indramayu Terjebak Trafficking

Ran (16) menyumbul ragu-ragu di balik gorden kamar tidur yang berjarak satu langkah dari ruang tamu. Suara Tin (39), Ibu Ran, kembali terdengar setengah memaksa, agar Ran bergegas ke ruang tamu. Perlahan, Ran pun mulai menampakkan mata sayunya. Perempuan muda itu menggapai kursi di antara kami, untuk bisa duduk lebih santai. Matanya sesekali terpejam. Sekilas, masih terlihat lelah dan mengantuk.

dari: www.kalyanashira.com
dari: http://www.kalyanashira.com

Sisa-sisa kelelahan itu masih tampak, setelah beberapa pekan sebelumnya, dia diantar pulang petugas Kepolisian Resor Indramayu dari sebuah komplek hiburan di daerah Pucuk, Provinsi Jambi, pada Senin (29/1/09). Ran memang tidak sendiri, tapi bersama empat perempuan lainnya, yang juga teman-temannya di Desa Sidadadi, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Keempat temannya adalah Tun (16), Niah (16), Rin (17) dan Dar (27). Mereka adalah korban perdagangan orang (trafficking) yang dipekerjakan sebagai pemandu lagu di tempat karaoke.

Sepanjang obrolan bersama kami, Ran lebih banyak diam dan sesekali tersenyum ketika kami mengajaknya berseloroh. Meski jawabannya terkesan singkat, tapi Ran cukup terbuka ketika berkisah pengalaman buruknya di Jambi. “Cuma ingin bantu orang tua, ingin mandiri, hutangnya Bapak kan banyak,” ujar Ran ketika ditemui Blakasuta di rumahnya, pada Senin (16/2/09) lalu.

Sayangnya, Ran tidak mendapat gaji seperti yang dijanjikan orang yang membawa mereka ke Jambi. Bahkan, pekerjaan yang mereka lakukan juga tidak seperti yang dijanjikan. Lebih lagi, saat kembali pulang ke Indramayu mereka tidak diberikan upah yang seharusnya menjadi haknya.

Kini Ran merasa lebih lega bisa berkumpul bersama keluarganya, setelah hampir dua tahun terkungkung dan tertindas tak berdaya. Bagaimana tidak, di usianya yang masih tergolong muda, dia harus menanggung beban hidup yang begitu berat. Ketika berangkat pada akhir tahun 2007, usianya masih 15 tahun jalan. Dia tidak menyadari jika akan terjebak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Yang dia pahami, ketika itu hanya dijanjikan bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran.

Namun setelah tiba di Jambi, dia dipekerjakan sebagai perempuan penghibur. Dia juga dipaksa “melayani” 4-5 lelaki dalam setiap harinya. Siksaan dan perlakuan tidak manusiawi pun tak jarang harus diterimanya. Belum lagi ancaman hutang puluhan juta rupiah yang katanya telah diterima keluarganya di rumah, Ran pun tak kuasa melawan. Hal serupa juga dialami keempat temannya yang lain.

“Setiap datang haid, kami selalu dikurung dalam kamar kosong dan gelap. Kami dituduh mencari-cari alasan supaya tidak melayani tamu. Dikurung selama seminggu dan hanya dikasih makan sekali dalam sehari,” tutur Ran sambil menunduk lesu.

Sejenak, Ran memperlihatkan bekas luka di sekitar pergelangan tangannya. Namun, ketika ditanya apa penyebab lukanya, Ran lebih memilih diam, menggelengkan kepalanya perlahan dan setengah tersenyum, tak kuasa menceritakan masa lalunya.

Malu Kembali ke Sekolah

Ran yang ramah dan murah senyum itu, kini mengaku malu untuk meneruskan sekolahnya yang hanya tamatan SD. Malu pada semua orang yang mungkin akan mencercanya. Dia pun lebih memilih mencari pekerjaan lagi, entah mencoba peruntungan sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Kota Jakarta, ataupun sebagai TKW. “Yang penting tidak kembali seperti dulu, takut,” tukasnya.

Sebagai orang tua, Tin mengaku tak ingin memaksakan kemauan anaknya. Apalagi selama ini, Tin mengaku sangat jarang berkomunikasi dengan Ran. Tin sama sekali tidak mengetahui perkembangan anak perempuannya itu, termasuk ketika Ran bekerja di Jambi selama hampir dua tahun. Posisinya yang ketika itu tengah bekerja sebagai TKW di Oman, membuatnya kian jauh dari kedua anaknya. Apalagi suaminya berusaha menutupi kabar pekerjaan Ran di Jambi. Karena ketidaktahuannya, Tin juga sering menolak ketika diminta menjelaskan tentang Ran. Di matanya, Ran lebih banyak diam dan tertutup. “Kami tidak terlalu akrab, karena Ran juga tidak pernah bercerita apapun. Ran lebih banyak diam.”

Alhasil, Tin baru mengetahui tentang pekerjaan Ran setelah ada laporan dari kepolisian Resor Indramayu beberapa lalu. Kebetulan untuk tiga bulan ke depan, Tin masih mengambil cuti pulang ke rumah. Tin mengakui ketidakberdayaannya membiayai sekolah Ran. Tin juga mengaku gaji yang diterimanya hanya 1,4 juta rupiah, dan untuk ukuran gaji seorang TKW memang tak seberapa. Mau tidak mau Tin harus menerimanya, apalagi pekerjaan suaminya yang tidak menentu di Jakarta.

“Kalau Ran mau, saya bisa mengusahakan biaya sekolahnya. Tapi kan Ran tidak mau, jadi saya tidak bisa memaksakan,” ungkap Tin yang awalnya lebih banyak diam. Hal senada diakui Din (41), ayah Ran. Dia tidak tahu menahu keberangkatan putrinya ke Jambi sekitar setahun lalu. Sebab, saat dibawa oleh orang yang menjanjikan pekerjaan dengan gaji besar di Jambi, dia sedang bekerja di Jakarta, sedangkan istrinya menjadi TKI di luar negeri.

Kemiskinan Pemicu Utama Trafficking

Kendati Ran dan keempat temannya sudah terlanjur menjadi korban, tapi mereka beruntung bisa keluar dan tidak terjebak seumur hidup di tempat hiburan itu. Menurut Kepala Polres Indramayu, AKBP Mashudi, sebelumnya sudah ada laporan dari keluarga korban kepada polisi di Indramayu. Dari situ kemudian ditindaklanjuti Polda Jambi, dengan melakukan razia di lokasi yang diduga tempat putri mereka dipekerjakan. Berkat kerja sama Polda Jambi dan Polda Jabar, korban bisa dikembalikan kepada keluarganya.

Lima perempuan muda itu memang berada di lokasi tersebut, dan bekerja sebagai pemandu lagu di dua tempat karaoke yang berbeda, yaitu Putri Ayu dan Putra Mujang, di kawasan hiburan Pucuk, Jambi. Razia juga dilakukan selama empat hari. Kemudian kelima korban itu langsung dipulangkan. Mereka tiba di Indramayu Rabu (28/1) malam.

Mashudi mengakui, persoalan trafficking merupakan salah satu tindak kriminal yang banyak muncul di Indramayu. Modusnya dengan menawarkan pekerjaan dengan upah tinggi. Namun setelah dibawa, korban dipekerjakan pada tempat-tempat hiburan dengan upah yang tidak layak. Oleh karena itu, Polres Indramayu mulai menyosialisasikan bahaya dan waspada trafficking kepada masyarakat desa.

Hal senada juga diungkapkan Rozikoh, salah satu tim jaringan masyarakat anti trafiking (Jimat) sekaligus Manajer Program Islam dan Gender Fahmina-Institute Cirebon. Menurut dia, kemiskinan dan faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab timbulnya trafficking. Faktor lainnya adalah pendidikan. Kemiskinan yang menghimpit  masyarakat pedesaan dan rendahnya tingkat pendidikan bagi perempuan, pada akhirnya mengakibatkan perempuan sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Desakan kebutuhan itulah, yang pada akhirnya cenderung membuat masyarakat kurang jeli melihat ancaman pada dirinya. Sehingga, mereka cenderung akan tertarik dengan tawaran pekerjaan yang menjanjikan gaji besar, tanpa mempertimbangkan risiko yang bakal didapatinya (diperdagangkan).

“Apalagi kasus ini menimpa anak di bawah usia 18 tahun. Dan mempekerjakan anak di bawah usia tersebut merupakan pelanggaran atas hak anak. Dalam kasus ini juga jelas untuk tujuan eksploitasi seksual, yang dikategorikan sebagai kejahatan trafficking atau yang biasa disebut dengan perdagangan orang,” jelas dia.

Kasus yang menimpa lima warga Indramayu ini adalah perempuan, empat dari mereka juga anak-anak. Sungguh tragis, di zaman sekarang ini masih terdapat kasus-kasus perdagangan orang. Lebih tragis lagi, seringkali pelaku-pelakunya adalah orang dekat korban sendiri, bisa orang tuanya, kakaknya, pacarnya, tetangganya dan lain-lain, yang tentu saja kita tidak menduga kalau dia adalah pelaku.

”Wajar saja kalau UU PPTPO memberikan sanksi yang berat bagi semua pihak yang terlibat dalam kejahatan perdagangan orang. Fakta trafficking memang semakin banyak terungkap dengan kelahiran UU PPTPO ini. Namun meskipun begitu, harus disadari bahwa ini ibarat gunung es, yang muncul dan tampak di permukaan hanyalah pucuk kecilnya saja. Sedangkan di bawahnya, yang tidak tampak, badan gunung es itu sangat besar dan gemuk. Jadi sekali lagi bahwa masih banyak yang belum terungkap daripada yang sudah terungkap,” tegasnya.

Rozikoh juga mengungkapkan salah satu pengalaman Fahmina-Institute ketika membantu meloloskan tiga perempuan korban trafficking asal Kabupaten Cirebon tahun 2007. Modusnya hampir sama dengan kelima perempuan korban trafficking asal Indramayu ini. Atas kerjasama pihak kepolisian, Fahmina berhasil mengeluarkan mereka dari tempat lokalisasi di Lubuk Linggau. Fahmina juga ikut mendampingi korban hingga ke meja hijau dengan 7 (tujuh) kali persidangan dan berhasil menghukum pelakunya.

Rozikoh menambahkan, untuk penyelesaian kasus trafficking membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik itu pihak penyalur tenaga kerja, aparat kepolisian, LSM, maupun masyarakat secara umum. Peran serta masyarakat secara aktif dalam menanggulangi terjadinya trafficking, ini akan membuat para calo berpikir dua kali untuk melakukan rekruitmen atau penjaringan calon tenaga kerja. Kesadaran masyarakat merupakan modal awal dalam upaya penanggulangan trafficking tersebut.

Selanjutnya, dalam upaya penanggulangan trafficking, peran serta negara, dalam hal ini pemerintah sangat dibutuhkan. Tidak hanya semata-mata melalui peraturan perundang-undangan, namun harus pula melalui upaya pengentasan kemiskinan. “Karena selama kemiskinan masih merajalela, maka selama itu pula trafficking dan kejahatan lainnya akan terus berlangsung,” tandasnya.

Sehingga, lanjut dia, pemerintah dalam hal ini harus lebih tegas lagi. Karena persoalan ini juga merupakan cermin kegagalan pemerintah dalam melakukan pengentasan kemiskinan. (ditulis oleh Alimah, diambil dari majalah warga Blakasuta Fahmina Institute)