Spirit di Balik Surat Kartini
“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih.”
Lagi-lagi kalimat di atas saya kutip sebagai lead dari artikel saya. Ya, di artikel pertama untuk Kompetiblog juga saya kutip kalimat serupa. Kutipan itu adalah dari tulisan surat Kartini kepada Ny Ovinskoer, sahabatnya di Belanda, pada Tahun 1900. Dari namanya, tentu kita faham siapa Ny Ovinskoer, dia adalah salah satu warga Belanda, yang juga sahabat pena Kartini. Ny Ovinskoer, tak luput memberi spirit terhadap pikiran-pikiran perempuan pribumi ini.
Surat-surat Kartini laksana sumur dipenuhi gagasan-gagasan progresif yang menjangkau masa depan. Setelah Kartini wafat, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon, mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht, yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.
Lalu mengapa saya tertarik untuk menengok spirit di balik ”Habis Gelap Terbitlah Terang”?. Karena di sana ada spirit seorang perempuan pribumi yang pantang mengungkapkan keinginannya melanjutkan studi. Terutama studi ke Eropa seperti yang diungkapkan dalam surat-suratnya kepada para sahabat penanya di Belanda. Sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Sayangnya, Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut. Tak heran jika akhirnya terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi. Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…,” demikianlah Kartini mengungkapkan asa-nya. Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan untuk belajar di Betawi.
Support Belanda Bagi Pendidikan Perempuan Indonesia
Di balik spirit sosok Kartini, rasanya tak bijak jika kita mengabaikan peran Hindia Belanda yang terus mendukung progresifitasnya. Karena sejatinya, di balik kemajuan dan progresifitas Kartini di tengah suasana feodal, ada sejumlah sahabatnya asal Holland, baik yang ada di Negeri Belanda maupun Indonesia, terus mendukungnya dan membuka wawasannya. Tak Heran jika Kartini sudah menegaskan emansipasi menjelang usianya 13 tahun, ketika dia harus meninggalkan bangku sekolah dan memasuki masa pingitan.
Mengenai Kartini, ada satu hal menarik yang jarang dikemukakan pada publik. Dalam surat yang dikirim oleh RA Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya RM Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis tot Licht, yang kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane (1979) menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, senantiasa menjadi sumber bagi penulisan mengenai Kartini. RA Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan. Bersama dukungan sahabat penanya, Kartini membangun kesadaran orang-orang sezamannya agar kaum perempuan bersekolah, tidak hanya di sekolah rendah tapi juga ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan laki-laki. Atas dukungan para sahabat penanya di Belanda dan Indonesia, Kartini juga memelopori berdirinya Sekolah Gadis Jawa pertama di Hindia Belanda (1903) dengan kurikulum yang diciptakannya sendiri, sesuai kebutuhan perempuan Jawa saat itu. Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak bergantung kepada siapa pun termasuk suaminya.
Bila mempelajari pikiran Kartini lebih mendalam, cita-citanya melampaui sekadar soal emansipasi dan pendidikan perempuan. Kartini ternyata adalah memperjuangkan pula peningkatan perekonomian masyarakat, menyangkut kepentingan rakyat secara luas. Kartini boleh dikatakan “seorang ekonom kerakyatan” ketika bicara tentang sulitnya pengrajin ukiran Jepara secara sosial-ekonomi berkembang karena tidak ada sistem uang-muka. Dari Hindia Belanda, Kartini juga menyandang ”Wartawan Perempuan Pertama” di Indonesia. Ketika itu Kartini menjadi kontributor majalah Bijdrage TLV, sejak tahun 1898 mengirimkan karangannya dan dimuat. Kartini juga menulis untuk majalah De Echo, dengan nama samaran “Tiga Saudara”, yang mendapat pujian dari De Locomotif (koran terbesar masa itu). Kartini tidak pernah membatasi minatnya dan tidak pernah mau dibatasi oleh siapa pun.
Masih banyak yang memandang bahwa kedudukan perempuan yang paling tepat sesuai “kodratnya” adalah menjadi istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi, mengembangkan minat dan dirinya, terutama ke wilayah publik, cukup di wilayah domestiknya saja, dalam rumah tangga, ortodoksi ini ditentang Kartini. Padahal kodrat yang dikhususkan oleh Tuhan bagi kaum perempuan adalah haid, hamil dan menyusui. Di luar dari itu, tidak ada perbedaan wilayah minat dan peran antara kaum laki-laki dan perempuan.
Dari Holland, Berdayakan Kembali Semangat Belajar PerempuanKita mungkin bisa sedikit berbesar hati, bahwa cita-cita Kartini untuk meningkatkan pendidikan perempuan sudah cukup berhasil. Bahkan dalam pencapaian prestasi di sekolah, murid yang menduduki peringkat 10 besar, lebih dari 60 persen adalah murid perempuan. Hanya yang menyedihkan dalam dunia kerja, meskipun dengan prestasi yang baik perempuan sangat sulit untuk mendapat kenaikan jabatan, apalagi untuk mencapai kedudukan pimpinan.
Tapi jika kembali membuka kepekaan diri kita, sejatinya masih banyak perempuan yang terkungkung hambatan (unfreedom), terhalang bersekolah karena dikalahkan prioritasnya oleh saudara laki-lakinya karena keterbatasan dana, terutama di desa-desa. Meskipun secara umum, perempuan Indonesia tidak lagi mendapat halangan yang berarti memasuki sekolah setinggi-tingginya. Akan tetapi bila kita melihat cita-cita Kartini di bidang lain seperti bidang perekonomian masyarakat, kebudayaan, dan kebebasan berprestasi, keadaannya masih memprihatinkan. Nasib perempuan masih akan buruk bila perekonomian nasional belum segera tumbuh berkembang, pengangguran yang belum sepenuhnya teratasi menjadi sumber nasib buruk bagi TKW-TKW kita.
Ya, saya bisa merasakannya secara langsung. Masih banyak jalan terjal yang kapanpun siap menghalangi cita-cita perempuan. Bahkan terkadang, ini luput dari pikiran kita akan nasib kaum perempuan kini. Setiap hari, selain menemukan pemberitaan di media akan penindasan yang menimpa perempuan secara bertubi-tubi, saya bisa merasakan langsung bagaimana perempuan kita terjebak dalam perdagangan orang (trafficking). Meskipun lagi-lagi, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada perempuan dan keluarganya. Karena hal tersebut tidak terlepas dari kegagalan pemerintah menanggulangi kemiskinan.
Selain kemiskinan, rendahnya pendidikan juga menjadi salah satu sebab mengapa perempuan rentan menjadi korban perdagangan (trafficking). Pada tahun 2005, Fahmina Institute, lembaga tempatku bekerja, melakukan penelitian di Kabupaten Cirebon. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa di Desa Serang Wetan terdapat 3 TKI/W korban trafficking yang tidak bisa baca tulis. Di Kecamatan Gempol ada 8 mantan TKI/W korban trafficking yang hanya lulus SD, 2 orang lulus SMP dan 1 orang lulus SMA. Di desa Kalisapu terdapat 10 korban trafficking, 8 diantaranya hanya tamat SD, sedang 2 orang lagi lulus SMP.Rendahnya pendidikan dan ketrampilan ini menyulitkan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak. Kebanyakan pekerjaan yang membutuhkan sedikit saja keahlian, seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) menuntut migrasi ke besar bahkan ke luar negeri. Minimnya ketrampilan menyebabkan kebanyakan perempuan hanya berpeluang bekerja di sektor informal, yang sampai hari ini tidak dilengkapi dengan jaminan pelindungan melalui kebijakan pemerintah (Misra-Resenerg, 2003: 142). Padahal sektor ini sarat dengan berbagai eksploitasi dan kekerasan.
Rendahnya pendidikan juga menyulitkan perempuan untuk mencari pertolongan ketika mengalami kesulitan. Mereka juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk membela diri ketika hak-haknya dirampas. Untuk itu mari perbaiki pendidikan perempuan. Negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan kepada setiap warga negaranya sebagaimana diamanatkan UUD ’45, UU No. 20/2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Rangkaian kalimat di atas sekadar refleksi, betapa pentingnya sebuah pendidikan bagi perempuan. Tak berlebihan rasanya jika kita kembali menengok dan belajar dari spirit di balik Habis Gelap Terbitlah Terang. Di sanalah seorang perempuan pribumi mampu belajar bersama komunitas global, meski melalui lembaran kertas surat. Dan kini, kesempatan belajar pun kian terbuka, tak melulu di Tanah Air, tapi juga komunitas global. Dan lagi-lagi, belajar di negara Eropa sepertihalnya Holland membawa kita untuk mempelajari banyak hal dari beragam komunitas.
Excellent!
Tulisan ini bisa menjadi pengantar untuk menguraikan problem trafficking perempuan Indonesia di berbagai negara. Kenapa tambah banyak perempuan Indonesia dijebloskan ke dalam krangkeng trafficking? Padahal, rules of law-nya amat sangat jelas. Kenapa masih terjadi?
Di tulisan ini Alimah mengajak pembaca untuk menengok perjuangan Kartini dalam menguraikan problem trafficking.
Namun, sayang..Alimah hanya sekilas berusaha mencari problem solving dari trafficking di Indonesia secara konkret.
Karena itu, perlu kiranya Alimah menulis kembali yang menganalisis “Studi Gender di Belanda: Proses Problem Solving Trafficking Perempuan di Indonesia.” Nah, dengan tulisan ini diharapkan realitas trafficking Perempuan di Kabupaten Cirebon lebih bisa diuraikan secara eksploratif dan analitik. Selain itu, peran institusi pendidikan (terutama studi Gender di Belanda) dan NGO bisa dijabarkan untuk menyelesaikan problem itu bersama-sama negara Indonesia.
Tulisan kedua Alimah ini, semoga, bisa mengantarkan Alimah studi ke Belanda. Lebih-lebih, jika ada tulisan yang ketiga. Insya Allah, pemerintah Belanda akan membuka pintu masuk studi Alimah ke Belanda.
Saya tunggu tulisan ketiga.
Terima kasih.
Goodluck!
Salam Autumn Adelaide South Australia,
Masykurwahid
LikeLike
Sekali lagi dan sebanyak-banyaknya saya ucapkan banyak terima kasih.
masukannya sangat baik untuk membuka kepekaan wacana saya terkait persoalan perempuan. ya, sebenarnya ada kesulitan ketika ingin menceritakan secara detail dan konkrit dalam tulisan artikel Kompetiblog ini. karena saya khawatir terlalu banyak, sehingga hasilnya banyak yang belum ter-cover dalam artikel ini.
tapi akan saya usahakan edit lagi. karena kebetulan, di web Kompetiblog juga masih pending alias menunggu giliran dengan yang lain untuk dipublikasikan di web Kompetiblog Belanda. tapi tulisan saya yang pertama tidak bisa diedit lagi di sana, karena sudah terpublikasikan. dan sekarang tulisan kedua ini masih menunggu giliran. masukan dari kang Akung akan saya coba aplikasikan, mohon Do’anya semoga hasil editan nanti sedikit mendekati. karena kalau sempurna apa yang disarankan, mungkin belum tentu. masukan kang Akung begitu sempurna, tapi lagi-lagi saya akan mencobanya.
sekali lagi, terimakasih banyak, wacana saya yang masih terbatas membutuhkan banyak masukan dan share dari yang sudah berpengalaman dan menimba ilmu lebih banyak dari saya.
LikeLike
Kepada Saudari Alimah….
Kembali saya mau mengomentari tulisan anda. Kali ini tentang Kartini.
Saya sepenuhnya setuju kalau Kartini itu dianggap sebagai pelopor pendidikan perempuan Indonesia tapi tidak setuju dia dianggap sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia.
Banyak sekali tulisan anda yang agak sedikit menyimpang (menurut saya) dari keinginan Kartini. Itu artinya Anda membaca kumpulan surat-surat Kartini TIDAK TUNTAS. Anda hanya membaca sebahagian. Saya sarankan anda membaca surat-surat Kartini secara menyeluruh. Dan kalau perlu diurutkan tanggalnya dari yang paling tua sampai ke yang paling muda.
Perlu saudari Alimah ketahui bahwa Kartini tidak pernah ingin perempuan Indonesia bekerja mencari nafkah keluar rumah. Itu tertulis jelas di surat Kartini yang di tujukan kepada Prof. Anton danNyonya yang bertanggal 4 Oktober 1902 yang berisi …”Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Jadi jelas di surat itu apa yang diinginkan Kertini sesungguhnya.
Sebenarnya Kartini adalah orang yang salah jalan pada awalnya namun kemudian mendapatkan petunjuk yang membawanya kapada jalan yang benar. Karena itulah dia menuliskan sampai 3 kali dikumpulan suratnya “dari kegelapan menuju cahaya”. Sebenarnya kata inilah yang ada di surat Kartini (Door Duisternis tot Licht lebih tepat diartikan kebahasa Indonesia dari kegelapan menuju cahaya daripada Habis Gelap Terbitlah Terang). Karena kata-kata ini yang paling banyak terdapat di kumpulan surat Kartini maka kata-kata inilah yang menjadi judul kumpulan surat Kartini yang oleh Armijn Pane sedikit di rubah (mungkin biar puitis) menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Mengenai penggalan surat Kartini diatas kalau tidak salah ditujukan kepada kepada Ny Ovinksoer yang ditulis pada tahun 1900. Tapi kemudian seperti saya bilang diatas bahwa Kartini yang salah jalan telah menemukan kebenaran, yang semula sangat menyanjung Barat malah mengkritik Barat. Karena itulah beliau tidak jadi ke Belanda karena menganggap Barat itu bukan segalanya. Seperti yang ditulis surat beliau “udah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (ditujukan kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902). Sekali lagi Anda perhatikan tanggal suratnya!!!.
Sangat banyak yang di bicarakan tentang Kartini, dan saya harap Anda tidak membaca kumpulan surat-surat Beliau setengah-setengah. Bacalah seluruhnya dan urutkan tanggal surat supaya anda bisa mengambil kesimpulan apa yang diinginkan Kartini.
Sekedar menggarisbawahi kekeliruan cara pandang Kartini tentang Barat ada ditulis pada tanggal 5 Maret 1902 …“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 5 maret 1902). Dan kata dari kegelapan menuju cahaya itu didapat oleh Kartini dari Al Quran Surat Al-Baqarah 257.
Bahkan di salah satu surat terakhirnya Beliau menuliskan keinginannya yang baru setelah Beliau menyadari salah jalan “Ingin benar, saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: hamba Allah (Abdullah)” (ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 1 Agustus 1903).
Itulah jawaban kenapa Kartini menolak ke Belanda dan memutuskan untuk Kawin.
Nah mengenai trafficking yang Saudari Alimah tulis saya mau bertanya
Apakah trafficking bisa terjadi kalau perempuan tidak mencari nahkah bahkan sampai ke luar negeri?
Saya bukan orang yang anti perempuan bekerja, namun jangan memaksakan diri atau menjadi prioritas utama. Ingat sebagai muslimah Anda tidak diminta pertanggungjawaban oleh ALLAH di akhirat nanti kaitannya dengan pekerjaan Anda mencari nafkah. Tetapi yang ada hubungannya dengan keluarga dan anak. Justru laki-lakilah yang diminta pertanggungjawabnnya oleh ALLAH kaitannya dengan mencari nafkah keluarga. Kartini mengerti ini karena Beliau sering mengikuti pengajian dan mendapatkan hadiah sebuah Al Quran yang ada terjemahannya ke bahasa Jawa di hari pernikahannya.
LikeLike
Terimakasih mas Ferry, share seperti inilah yang saya butuhkan dan bagi saya ini sangat penting untuk perkembangan wacana saya. tentang surat-surat Kartini, sepertinya saya memang harus lebih jeli lagi. saya juga ingin share, yang mungkin tidak sedikit. Begini, selama saya membaca dan mencari data, sejauh ini memang banyak sekali sumber dengan beragam perspektif. Bahkan ada juga sejumlah Ormas yang ramai mempertanyakan keislaman Kartini (saya rasa bukan hanya saya yang merasakan kebingungan itu).
Namun terlepas dari semua itu, saya memang tertarik untuk membahas spirit Kartini menuangkan pikirannya dalam sebuah tulisan. Ya, kalau mau dibahas lebih detail, tulisan ini termasuk belum mampu mengcover banyak hal terkait perdebatan seputar paradoks kesubversifan Kartini. Dan ya, jujur saja sampai sekarang di kepala saya juga masih terus penasaran tentang ini (meskipun sudah banyak sekali penelitian plus ada bukti tertulis, yaitu buku surat-surat Kartini). Mungkin juga mas Ferry bisa memberikan informasi tentang sumber yang tepat. Dan sebenarnya ada data dan sumber yang sudah mendekati kebenaran. Saya jadi ingat kata-kata Anas Saidi, kenapa bukan kebenaran mutlak, tapi mendekati kebenaran, kebenaran itu sendiri relative, termasuk kebenaran ilmiah. Terbukti, meskipun banyaknya penelitian yang sudah dilakukan, wacana yang berkembang tentang Karitni masih beragam. Benar bahwa dalam realitas sosial memang tidak ada yang obyektif, ini menurut teori positifistik. Karena pada dasarnya, sebuah realitas itu sendiri sudah dilakukan pengkonstruksian. Kenapa hitam, baik dan buruk. Karena sebelumnya, di kepala seseorang tersebut sudah terkonstruk bahwa sesuatu itu hitam, sesuatu itu buruk, dsb.
Okey, sepertihalnya saya yang dengan enteng mengutip surat Kartini menjadi lead. Saya pun bisa dengan mudah mengatakan, “karena saya suka dengan kata-kata itu untuk dikutip menjadi lead. kebetulan juga, saya menuliskan ini untuk keperluan kompetiblog, saya berusaha merampingkan tulisan agar tidak terlalu melebar. Inti tulisan saya sebenarnya hanya ingin mengangkat persoalan perempuannya, namun saya buka dengan sekilas sejarah kartini. meskipun di sana-sini memang banyak yang masih perlu diperbaiki bahkan diperdebatkan. Kebetulan kalau tentang Kartini-nya saya sengaja untuk tidak terlalu mendalam. Saya lebih memilih mengangkat isu perempuannya, terutama dengan persoalan pendidikan dan kemiskinan. Dan yang lebih utama lagi adalah tentang persahabatan Kartini dengan noni-noni Belanda.
Dan tentang trafficking, ini lebih menarik lagi untuk sebuah diskusi, sebelumnya terimakasih sudah mengajukan pertanyaan tentang ini. Meskipun pertanyaannya bukan definisi trafficking, tetapi saya perlu untuk menuliskannya di sini dan mungkin mas Ferry sudah tahu tentang itu. Kalau dilihat dari definisinya, dalam Pasal 3 Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak, sebagai tambahan terhadap Konvensi PBB menentang kejahatan terorganisir transnasional, 2000 :
Trafficking in persons (perdagangan manusia), biasanya dalam banyak kasus lebih merujuk kepada perdagangan perempuan dan anak2. Istilah ini sendiri dapat diartikan sebagai “rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, pencurian, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan ataupun menerima atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tsb, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk2 eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek2 lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ2 tubuh”.
Global Alliance Againts Traffic in Women (GAATW) mendefinisikan perdagangan perempuan sebagai semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar maupun tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya (domestik, seksual atau reproduktif), dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.
Agar suatu kejadian dapat dikatakan sebagai trafiking, kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan. Untuk ini saya memilih untuk tidak menjelaskannya di sini, mungkin nanti mas Ferry bisa bisa lebih banyak buka kembali data-data tentang ini.
Nah, tentang pertanyaan mas Ferry, saya mencoba menjawab berdasarkan pengetahuan yang say abaca dan pengalaman di lembaga saya ketika melakukan advokasi terkait kasus trafiking. Jadi berkaitan dengan pertanyaan mas Ferry, saya jelaskan bahwa trafficking bisa terjadi baik di dalam negeri, di luar negeri, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun. Tetapi terkait pertanyaan ini, mas Ferry bisa memberikan satu contoh kongkritnya/masalahnya seperti apa dulu. Dari masalah itu, kita bisa identifikasi, apakah ada unsur trafikingnya atau tidak. Jadi, untuk ini mungkin kita masih bisa berdiskusi lagi.
Sedikit cerita, beberapa pekan lalu, saya juga pernah meliput tentang korban trafiking di Indramayu, ada 5 ABG korban trafiking yang dijual di dalah satu tempat hiburan di Jambi. Awalnya kami ragu, apakah benar-benar mereka ditipu atau tidak. Setelah kami telusuri kasusnya, ternyata memang sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak. Dalam artian bahwa, orang tua mereka sudah tahu bahwa mereka akan dibawa ke tempat semacam itu. Tetapi, kami melihat bahwa ketika mereka dijual, umur mereka masih dibawah umur, masih ada yang umurnya 14 tahun ketika dijual. Maka, meskipun ada persetujuan, tetapi itu masuk dalam kasus trafiking. Kenapa? Karena saat dijual, mereka masih di bawah umur.
Sementara itu dulu, menarik sekali pertanyaan anda. Saya berharap, teman-teman yang membuak blog ini juga bisa memberikan masukan-masukannya
LikeLike
******sejumlah comment untuk tulisan ini, di ambil dari http://www.kompetiblog.studidibelanda.com
*Abu Bakar
April 22, 2009
Santai, lugas, padat, dan penuh akan makna. Itulah kesan pertama saya ketika membaca artikel ini. Sebuah pemahaman penulis yang berelaborasi dengan pengalaman dan perjuangan Kartini yang penuh akan spirit kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Ide, rasa, dan pikiran penulis dalam artikelnya mencoba menembus sekat dan batas budaya yang patriarkhi. Dimana realita akan selalu berubah, dan saatnya perempuan mampu duduk sama berdiri dengan laki-laki dalam semua lini kehidupan. Semoga.
*alim84
April 22, 2009
menarik sekali masukan dari mas Abdul Malik, jika dikatakan kurang padat, itu benar. karena saya pribadi memang merasa banyak yang harus diperbaiki. namun lagi-lagi, karena persoalan tidak sempat mengedit dan lain sebagainya. jadi seperti inilah hasilnya. kemudian tentang tulisan pantang, itu juga salah satu yang luput dari saya. dan jika dicari kesalahan teknisnya, maka memang selalu ada saja yang luput. tentang kartini yang membatalkan niatnya, ya, sejatinya saya tidak bermaksud untuk menyimpulkan. karena dalam tulisan itu, saya memang sengaja untuk tidak terlalu banyak mengeksplor dan menjelaskan secara lebih mendalam. saya lebih tergoda untuk langsung menjurus ke persoalan perempuannya. Ya, untuk selanjutnya saya memang harus lebih jeli lagi dan menyempatkan diri untuk kembali mengeditnya.
key, masukannya sangat membangun sekali, dan saya beruntung mendapat masukan dari seorang jurnalist seperti anda. saya sudah membaca tulisan di blog anda, salam kenal kenal dari saya…sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih
*alim84
April 22, 2009
maaf, saya ralat, di sana ada nama mas Ferry, seharusnya mas Abdul Malik. saya memang sengaja mengkopi paste tulisan share saya ini dari Blog saya yang juga ikut memberi masukan pada tulisan saya tentang Kartini. kebetulan nama kawan maya itu bernama mas Ferry, sehingga tanpa sadar ada yang belum diganti.
jika ingin berdiskusi lebih banyak lagi, silahkan mampir ke blog saya. kebetulan, selain persoalan Kartini, saya dan mas Ferry juga mendiskusikan seputar persoalan trafficking. makasih
Ala’i Nadjib
*alimah
April 23, 2009
Mba Ala’i, saya sangat berterima kasih atas apresiasinya. Pengalaman dan wawasan mba Ala’i begitu kaya tentang wacana perempuan. saya harus berguru lebih banyak lagi pada sosok-sosok perempuan seperti mba Ala’i. Terutama dalam memperkaya wacana dan analisis saya dalam menulis persoalan perempuan. sekali lagi, terimakasih atas masukan dan informasinya. Sukses dan lancar selalu buat aktifitas-aktifitas mba Ala’i.
*alim84
April 24, 2009
I really thank you for your appreciation. Jo, you are right about Indonesia women reality. And the data that I showed is just a little of the field reality. Because, outside of the millions of women are still isolated. Also other women are threatened to be a victim.
In this case, the government should be more explicit on trafficking crime. Efforts to rescue, the state should provide the main focus on strengthening the position of vulnerable groups trafficking, with the instruments of law issued a firm, clear, and impartial, so that they are protected from enforce practices and abuse of authority against the apparatus of their vulnerable position.
*alim84
April 26, 2009
Nice comment.I’m with U. actually all of us are the winner. When we have been an ambition to be anything, actually we have got it. because we have created ourselves to be the winner. such as Voltaire words(French philosopher’s), he said that, Indeed, human freedom has been achieved exactly when the freedom of hope itself…
Key, we are same, we are the winner…………..
LikeLike
Sepakat! Resapilah petuah Kartini tersebut!
Tak ada yang salah dengan substansi kolonialisasi, kalau tafsir kita mengarifinya. Bukan semata karena kita bukan generasi yang pernah merasakan zamannya. Bukan pula karena kita dispatriot dan buta sejarah. Tapi jejak tetapak dan peninggalan sebuah orde adalah keniscayaan. Bahwa bangsa Indonesia harus terus belajar. Seperti di kompetisi blog studi di Belanda ini.
Indonesia harus berterimakasih telah ‘dijajah’ Belanda!
kalau tidak ia tah akan jauh dari Papua New Guenea.
Siapapun yang membaca kolonialisasi dan makna relasi kebelandaan bagi keindonesiaan harus arif kaya sudut pandang. Searif Kartini.
Selamat untuk Alimah
LikeLike
Berbagi memang tak pernah merugi, bagitupun aku yang mencoba berbagi dengan kawan-kawan d Blog ini. Komentar mas Jejen sungguh memberi saya pengetahuan dan pengetahuan lagi. terima kasih mas Jejen, menarik sekali jika kita bisa lebih banyak share tentang ini.
Sekali lagi, terimakasih banyak…
LikeLike