Spirit di Balik Surat Kartini

“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih.”

Lagi-lagi kalimat di atas saya kutip sebagai lead dari artikel saya. Ya, di artikel pertama untuk Kompetiblog juga saya kutip kalimat serupa. Kutipan itu adalah dari tulisan surat Kartini kepada Ny Ovinskoer, sahabatnya di Belanda, pada Tahun 1900. Dari namanya, tentu kita faham siapa Ny Ovinskoer, dia adalah salah satu warga Belanda, yang juga sahabat pena Kartini. Ny Ovinskoer, tak luput memberi spirit terhadap pikiran-pikiran perempuan pribumi ini.

Surat-surat Kartini laksana sumur dipenuhi gagasan-gagasan progresif yang menjangkau masa depan. Setelah Kartini wafat, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon, mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht, yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.

Lalu mengapa saya tertarik untuk menengok spirit di balik ”Habis Gelap Terbitlah Terang”?. Karena di sana ada spirit seorang perempuan pribumi yang pantang mengungkapkan keinginannya melanjutkan studi. Terutama studi ke Eropa seperti yang diungkapkan dalam surat-suratnya kepada para sahabat penanya di Belanda. Sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Sayangnya, Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut. Tak heran jika akhirnya terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.

Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi. Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…,” demikianlah Kartini mengungkapkan asa-nya. Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan untuk belajar di Betawi.

Support Belanda Bagi Pendidikan Perempuan Indonesia

Di balik spirit sosok Kartini, rasanya tak bijak jika kita mengabaikan peran Hindia Belanda yang terus mendukung progresifitasnya. Karena sejatinya, di balik kemajuan dan progresifitas Kartini di tengah suasana feodal, ada sejumlah sahabatnya asal Holland, baik yang ada di Negeri Belanda maupun Indonesia, terus mendukungnya dan membuka wawasannya. Tak Heran jika Kartini sudah menegaskan emansipasi menjelang usianya 13 tahun, ketika dia harus meninggalkan bangku sekolah dan memasuki masa pingitan.

Mengenai Kartini, ada satu hal menarik yang jarang dikemukakan pada publik. Dalam surat yang dikirim oleh RA Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya RM Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis tot Licht, yang kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane (1979) menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, senantiasa menjadi sumber bagi penulisan mengenai Kartini. RA Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan. Bersama dukungan sahabat penanya, Kartini membangun kesadaran orang-orang sezamannya agar kaum perempuan bersekolah, tidak hanya di sekolah rendah tapi juga ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan laki-laki. Atas dukungan para sahabat penanya di Belanda dan Indonesia, Kartini juga memelopori berdirinya Sekolah Gadis Jawa pertama di Hindia Belanda (1903) dengan kurikulum yang diciptakannya sendiri, sesuai kebutuhan perempuan Jawa saat itu. Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak bergantung kepada siapa pun termasuk suaminya.

Bila mempelajari pikiran Kartini lebih mendalam, cita-citanya melampaui sekadar soal emansipasi dan pendidikan perempuan. Kartini ternyata adalah memperjuangkan pula peningkatan perekonomian masyarakat, menyangkut kepentingan rakyat secara luas. Kartini boleh dikatakan “seorang ekonom kerakyatan” ketika bicara tentang sulitnya pengrajin ukiran Jepara secara sosial-ekonomi berkembang karena tidak ada sistem uang-muka. Dari Hindia Belanda, Kartini juga menyandang ”Wartawan Perempuan Pertama” di Indonesia. Ketika itu Kartini menjadi kontributor majalah Bijdrage TLV, sejak tahun 1898 mengirimkan karangannya dan dimuat. Kartini juga menulis untuk majalah De Echo, dengan nama samaran “Tiga Saudara”, yang mendapat pujian dari De Locomotif (koran terbesar masa itu). Kartini tidak pernah membatasi minatnya dan tidak pernah mau dibatasi oleh siapa pun.

Masih banyak yang memandang bahwa kedudukan perempuan yang paling tepat sesuai “kodratnya” adalah menjadi istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi, mengembangkan minat dan dirinya, terutama ke wilayah publik, cukup di wilayah domestiknya saja, dalam rumah tangga, ortodoksi ini ditentang Kartini. Padahal kodrat yang dikhususkan oleh Tuhan bagi kaum perempuan adalah haid, hamil dan menyusui. Di luar dari itu, tidak ada perbedaan wilayah minat dan peran antara kaum laki-laki dan perempuan.

Dari Holland, Berdayakan Kembali Semangat Belajar Perempuan

Kita mungkin bisa sedikit berbesar hati, bahwa cita-cita Kartini untuk meningkatkan pendidikan perempuan sudah cukup berhasil. Bahkan dalam pencapaian prestasi di sekolah, murid yang menduduki peringkat 10 besar, lebih dari 60 persen adalah murid perempuan. Hanya yang menyedihkan dalam dunia kerja, meskipun dengan prestasi yang baik perempuan sangat sulit untuk mendapat kenaikan jabatan, apalagi untuk mencapai kedudukan pimpinan.

Tapi jika kembali membuka kepekaan diri kita, sejatinya masih banyak perempuan yang terkungkung hambatan (unfreedom), terhalang bersekolah karena dikalahkan prioritasnya oleh saudara laki-lakinya karena keterbatasan dana, terutama di desa-desa. Meskipun secara umum, perempuan Indonesia tidak lagi mendapat halangan yang berarti memasuki sekolah setinggi-tingginya. Akan tetapi bila kita melihat cita-cita Kartini di bidang lain seperti bidang perekonomian masyarakat, kebudayaan, dan kebebasan berprestasi, keadaannya masih memprihatinkan. Nasib perempuan masih akan buruk bila perekonomian nasional belum segera tumbuh berkembang, pengangguran yang belum sepenuhnya teratasi menjadi sumber nasib buruk bagi TKW-TKW kita.

Ya, saya bisa merasakannya secara langsung. Masih banyak jalan terjal yang kapanpun siap menghalangi cita-cita perempuan. Bahkan terkadang, ini luput dari pikiran kita akan nasib kaum perempuan kini. Setiap hari, selain menemukan pemberitaan di media akan penindasan yang menimpa perempuan secara bertubi-tubi, saya bisa merasakan langsung bagaimana perempuan kita terjebak dalam perdagangan orang (trafficking). Meskipun lagi-lagi, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada perempuan dan keluarganya. Karena hal tersebut tidak terlepas dari kegagalan pemerintah menanggulangi kemiskinan.

kampanye anti trafficking di Kalimantan Barat (sumber: www.kompas.com)

kampanye anti trafficking di Kalimantan Barat (sumber: http://www.kompas.com)

Selain kemiskinan, rendahnya pendidikan juga menjadi salah satu sebab mengapa perempuan rentan menjadi korban perdagangan (trafficking). Pada tahun 2005, Fahmina Institute, lembaga tempatku bekerja, melakukan penelitian di Kabupaten Cirebon. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa di Desa Serang Wetan terdapat 3 TKI/W korban trafficking yang tidak bisa baca tulis. Di Kecamatan Gempol ada 8 mantan TKI/W korban trafficking yang hanya lulus SD, 2 orang lulus SMP dan 1 orang lulus SMA. Di desa Kalisapu terdapat 10 korban trafficking, 8 diantaranya hanya tamat SD, sedang 2 orang lagi lulus SMP.

Rendahnya pendidikan dan ketrampilan ini menyulitkan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak. Kebanyakan pekerjaan yang membutuhkan sedikit saja keahlian, seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) menuntut migrasi ke besar bahkan ke luar negeri. Minimnya ketrampilan menyebabkan kebanyakan perempuan hanya berpeluang bekerja di sektor informal, yang sampai hari ini tidak dilengkapi dengan jaminan pelindungan melalui kebijakan pemerintah (Misra-Resenerg, 2003: 142). Padahal sektor ini sarat dengan berbagai eksploitasi dan kekerasan.

Rendahnya pendidikan juga menyulitkan perempuan untuk mencari pertolongan ketika mengalami kesulitan. Mereka juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk membela diri ketika hak-haknya dirampas. Untuk itu mari perbaiki pendidikan perempuan. Negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan kepada setiap warga negaranya sebagaimana diamanatkan UUD ’45, UU No. 20/2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Rangkaian kalimat di atas sekadar refleksi, betapa pentingnya sebuah pendidikan bagi perempuan. Tak berlebihan rasanya jika kita kembali menengok dan belajar dari spirit di balik Habis Gelap Terbitlah Terang. Di sanalah seorang perempuan pribumi mampu belajar bersama komunitas global, meski melalui lembaran kertas surat. Dan kini, kesempatan belajar pun kian terbuka, tak melulu di Tanah Air, tapi juga komunitas global. Dan lagi-lagi, belajar di negara Eropa sepertihalnya Holland membawa kita untuk mempelajari banyak hal dari beragam komunitas.