rindu berlebih…

495232003_d6ae8fd49d Implora kian menghanyutkanku. tentang lalu yang sungguh sulit kudekap selalu, agar aku tak lagi diliputi rindu berlebih ini. rasa ini selalu muncul dikala kelu dan sunyi menyerangku dari segala arah. tak hanya Implora, Orinoko Flow milik Enya, Romeo and Juliet Theme, Caravansary-nya Kitaro, In A Glade milik Milla Javovich, A shoulder To Cry On, Careless Wishper, Adagio In C Minor dan Deliverance-nya Yanni, juga tak henti membawa-hanyutkanku untuk terus terlena. entah, ketika instrumental itu menyapa indera pendengarku, seketika itu pula menghantarkanku pada lalu dan lalu. dan rasa ini, secara sadar terdorong untuk kembali mengenang dan mengenang. jika sudah begitu, batin ini tiba-tiba merasakan perih berlebih. hingga berujung pilu yang menyayat. ya, dan air mataku tak lagi bisa kubendung. aku menangis dengan perih menyayat.

menangis. karena tidak lagi berada di tengah-tengah dan bersama mereka. mereka, kawan-kawan yang tak hentinya memberi makna dalam hidupku. ya, aku sungguh hafal perih ini. bahkan nyaris sama ketika pertama kali rasa ini diam-diam menaruh hati pada sesosok lelaki “yang sungguh diharapkan”. ya, aku masih hafal rasa itu. tapi memang selalu ada perbedaannya. karena perih kali ini, bisa datang kapanpun selama aku hidup. tentu saja aku terus mengingat masa-masa itu. bahkan, meski di keramaian dan bisingnya kendaraan di tengah jalan raya, aku bisa secara tiba-tiba merasakan rindu berlebih itu. lalu tanpa sadar, lagi-lagi perih menyayat itu mendorong air mataku keluar. dan momen itu terlalu sering menimpaku, ketika instumental dari MP4-ku mengalun lembut melalui telingaku yang tertutup air phone.

tentang lalu, masa dimana aku merasa nyaman bersepeda ria maupun berjalan kaki, sambil menyusuri jalan setapak di pinggir persawahan sebuah kampung di Kediri Jawa Timur. terutama di pagi buta, siang dengan angin dinginnya, dan sore yang hangat. masih hangat di rasaku, angin dingin di bulan Mei itu terasa menusuk tulang-tulangku. namun entah kenapa, sungguh menggairahkan rasaku untuk tak henti-hentinya mempelajari banyak hal. mungkin itu yang mereka sebut mengambil hikmah dari segala.

kampung itu bernama Pare. itulah nama kampung yang aku maksud. meski di pelosok, kampung itu tak seperti kampung pada umumnya. kampung itu dikenal dengan julukan “Kampung Inggris”, sebab sekian persen dari penduduk di kampung itu menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. dalam kedatanganku yang kedua kalinya (pertama, sebelum kuliah di Yogyakarta tahun 2002. Kedua, setelah usai kuliah dan kerja di Yogyakarta dan Solo tahun 2008), aku baru menyadari bahwa Pare ini laiknya perempuan. kali ini mungkin aku terkesan bias. tapi itulah yang kurasa. mereka sepertiku yang kian menggandrungi Pare. tapi tidak bisa juga jika membandingkannya dengan Jogja. Jogja dan Pare. sama-sama membuatku rinduku berlebih. keduanya imbang. sepertihalnya ketika aku harus dipaksa memilih “pacar” ataukah “sahabat” ?, maka dengan tegas aku mengatakan “pacar dan sahabat”. sungguh seumur hidupku, keduanya telah mampu menghantarkanku menjadi “Aku”, menghantarkanku menemui “Aku”-ku, menghantarkanku memahami “ke-Aku-an”-ku, keduanya sungguh berharga. dan selama rasa ini masih merasa, maka kedua tempat itulah yang akan tetap menjadi tempat tujuan utama-ku di suatu saat. entah kapan lagi. yang pasti, aku memiliki ingin berlebih untuk kembali merasa nyata berada di Pare dan suatu saat Jogja.

2wh09c1 Pare dari salah satu sudut

di Pare, aku mengenal rasa persahabatan yang sungguh unik dan beragam. antara aku dan Vhira Rose (nama di Facebook-nya sekarang) yang cute and funny, Fuzie yang calm-smart and idealistic, Niken yang girly-groovy dan adaptable, miss Alfie yang mature-misterius-smart-but sometimes childish, Yola yang sweet-cheerful-confident and stylish, Geni yang shy-calm-nervous and romantic, Melfa yang reflective-independent-trustworthy and sympathetic, Reni yang calm-brave and optimistic, Mumun or Zuber yang setengah idealistic-setengah realistic-responsive-kind-spontaneous dan warm, Mr Ahwy yang idealistic-clever-sometimes adventures-sometime logical-confident dan helpful, Miss Nikmah yang powerful dan organized, Noufa yang relaxed dan romantic, dan masih banyak lagi sahabat-sahabatku dengan segenap sifat dan sikap kompleksnya.

I’m so sorry if I can’t mention ur’name one by one. the most important, all of u are the best in my life. karena di sana aku mengenal banyak hal yang tak semata english language. dan beberapa bulan terakhir sebelum go home, aku sempat merasakan menjadi pendengar setia dan tentunya pendengar baik yang lumayan komunikatif dalam setiap curhatan teman-teman asrama putri. bahagia dan bangga, ketika mampu membangkitkan rasa optimisme mereka yang nyaris pesimis. bahagia ketika menjadi bagian dari mereka yang sejatinya beragam latar belakang pendidikan, usia, culture, dan religion. bahagia menjadi bagian dari komunitas SMART Dormitory (Story). ya, Story adalah salah satu asrama di Pare, yang tidak sekadar menampung para student untuk berteduh, tetapi juga memberikan kursus dan wadah english communicatively. belum lagi peraturan asrama mewajibkan pindah kamar dalam sebulan sekali.

4736_1015885213005_1701349544_28686_3860292_n kawan-kawan Story yang ikut berlibur ke Bali, foo ini aku curi dari facebook Vhira Rose. Vir, kamu pasti bangga foto-mu nampang di blog ini. he…he….

dan yang juga sangat berkesan. kelas speaking, pronounciation dan grammer-nya. speaking, sungguh ini yang terus membekas. where we have to debate in every meeting. moreover, at the friday night where we have to debate with all member of Story (Story 1,2,3,4,5). I also remember when we walked away in every Sunday morning (as far as I see). and, sorry I just remember about Nasi Pecel, Mak Nyet, Bakso Handsome, study dan nongkrong di Garuda Park saat kelas Miss Alfie, Lapangan dean Story Lima, Miss Lala, Mrs Uun, Mr Andre, Mr Abror, Mrs Yeni, dan foto-foto bareng di studio foto unik di pertigaan jalan, dan ingatkan aku yang telah terlupakan dalam tulisan ini.

dan tentang Kampung Inggris…

menurut sejumlah sumber yang bisa dipercaya, awalnya ada seorang mahasiswa yang menyelesaikan pesantrennya di Gontor, kemudian merintis pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak. Pengajaran itu rupanya berhasil dan kemudian berkembang. Semakin banyak anak berbahasa Inggris. Proses itu kemudian menggerakkan ekonomi kampung itu. Ada orang-orang luar yang datang ingin belajar bahasa Inggris, kemudian menyewa rumah penduduk. Karena mulai ada aktivitas orang luar, mulai muncul kebutuhan makanan dan lainnya. Singkat cerita, ekonomi kampung itu berdenyut karena fokus dan keterlibatan para penduduk kampung itu.

Bukan hanya tentang ekonomi, tetapi proses belajar di sana yang berlangsung selama 1 tahun (mereka menyebutnya English Camp) itu ternyata efektif. Anak cukup mahir berbahasa Inggris, bukan hanya grammar, tetapi juga conversation. Yang menarik, logat Jawanya tidak terdengar lagi. meski untuk pemula, tak sedikit yang tanpa sadar menyampur adukkan antara logat daerahnya dengan english style. Proses belajar juga tak konvensional, tapi di bawah pohon bambu, dan sebagainya.

bahkan biaya kursus per bulan dan biaya hidup, sungguh sangat murah. mulai dari Rp 60 ribu hingga Rp 500-an ribu. sungguh sangat murah dibandingkan kota besar. tentang Pare dan rasa rinduku yang berlebih, sepertinya refleksi ini belum bisa mewakili sepenuhnya kondisi rasa dan realitas di Pare. but, Pare and all of mu friends is the best for me.