di 7 Juli ’09 itu…

gelombang

kau tertawa. tapi bukan menertawakan. sedang aku tersenyum nyaris sinis, saat itu. tepatnya di 7 Juli ’09 itu. mereka mengatakan hidmat dan sakral. hatiku mengatakan biasa saja. tak ada gejolak di sana. di jiwa ini, tentu saja. beberapa menit tepat setelah kau mengucapkan kalimat sakti itu, kau dan aku bebas atas segala. setidaknya demikian yang terlontar dari hati dan pikiran mereka. tapi kau dan aku biasa saja. tak ada yang takjub. tak ada yang berbeda. tak ada getar. karena memang seharusnya demikian. “aku dijebak,” demikian celotehan-sindiranmu pada kita. saat itu aku mencoba menelisik lontaranmu. aku mengerti. tapi aku tak ingin melontarkan balik. aku cukup memahami lontaranmu yang penuh makna. “tapi, jebakan itu semakin mempermudah segalanya. segalanya terlihat simpel. sesimpel yang pernah terlintas dalam benakku. dan ternyata memang benar,” sanggahku dalam hati.

kau, detik itu, seperti biasa terlihat tenang. tak ada beban di sana. kecuali suaramu yang terdengar berat. kau di tengah-tengah mereka yang siap mengingatkanmu akan kalimat sakral itu. ya, jika tiba-tiba kau salah berucap “Qobiltu…”. ya, karena jika salah satu kalimat saja kau berucap, maka setelahnya akan menjadi buah bibir yang tak mau beranjak. tapi kau tetap di sana dengan ketenanganmu. aku yakin. hingga kau pun lepas atas beban beberapa menit itu. aku kembali menarik napas. tapi bukan tarikan melepas debar. ada yang tak mampu aku lontarkan di sana. hanya aku yang tau. meskipun kau mencoba menelisik, tapi aku yakin tak sefaham yang kufahami akan diriku.

ya, di 7 Juli 2009, kita menyatu. ya, hanya dengan kalimat sakti yang diucapkan beberapa menit itu. tapi tetap tak ada debar. karena kita tetap sama. kita tetap terus belajar pada apa dan siapa. mereka, dia juga kita sendiri. kita masih tetap belajar. kita masih terjaga akan segala. kita masih siap menerjang apapun, jika memang mengharuskan kita untuk menerjang. ya, tak ada debar di sana. kau dan aku tetap kita. terima kasih Tuhan