hanya karena dia perempuan?

dari sekian ironi yang kurasakan, kali ini aku ingin berbagi pengetahuan. masih tentang persoalan perempuan.
dan kini sengaja aku kutip tulisan mba Muji Kartika SH, wakil direktur bidang program dan advokasi di LBH Surabaya, tulisannya dimuat dalam jurnal FPBN Edisi III. tulisannya berjudul “Hukum, alat penindas atau keadilan bagi perempuan?. tulisannya cukup banyak jika aku kutip semua dalam blog ini, tapi mau bagaimana lagi, karena begitu penting, maka aku kutip semuanya. mungkin sebagian dari kita pernah membaca tulisan ini, karena aku sendiri tergolong telat mengetahui tulisannya. silahkan untuk mengingatnya kembali.

trafficking_anak

Hukum, alat penindas atau keadilan bagi perempuan?

Tiada sedikitpun ruang kehidupan kita yang luput dari pantauan hukum (nasional). Sejak kita bangun hingga tidur lagi, kita di dalam rumah, di jalan bahkan di dalam hutan sekalipun, diatur dalam peraturan tertulis. Ribuan bahkan jutaan peraturan tertulis telah diproduksi oleh legislator dan oleh karenanya berlaku di Indonesia sebagai hukum positif.

Bagaimana kita melihat hukum tersebut dalam perspektif kepentingan perempuan. Karena perempuan termasuk subyek yang tidak luput dari pengaturan. Namun demikian, sejauh mana substansi hukum yang ada telah memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi perempuan?

PENGANTAR

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengingat kembali beberapa kasus yang monumental dan hanya terjadi karena korbannya berjenis kelamin perempuan.

Pertama, masihkah terngiang diingatan kita tentang kasus Marsinah? Satu hal yang selalu mengganggu pikiran kita adalah mengapa dia diperkosa dulu sebelum dibunuh? Jawabannya hanya satu. KARENA MARSINAH PEREMPUAN. Sekedar berfantasi, seandainya dia laki-laki mungkin cukup dianiaya hingga mati. Rasanya tidak lengkap dan rugi besar jika menganiaya perempuan tanpa melibatkan unsur seksualitas. Ironisnya, hingga sekarang kasus ini tidak kunjung jelas bahkan dihentikan prosesnya. Faktanya, sistem hukum pidana terbukti tidak mampu menjangkau kasus ini.

Kedua, masih ingatkah kita dengan kasus trafficking atau perdagangan perempuan? Dalam kasus trafficking perempuan tidak ada bedanya dengan barang atau binatang ternak. Mereka siap dibudidayakan dan dijual, dimana harga tergantung kondisi fisiknya dan ditentukan orang lain, dan tentu bukan untuk sang barang tersebut. Trafficking perempuan biasanya untuk pelacuran, dan pemaksaan hamil, sedikit untuk pembantu.

Terhadap kasus trafficking, terbukti bahwa hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHP, tidak mampu menjangkau modusnya yang sistematis, lintas batas otoritas hukum, dan pelakunya terikat dalam jaringan sindikat. Entahlah, ini semata-mata persoalan penegakan hukum atau juga persoalan norma yang memang tidak memadai? Yang pasti belum ada hukum yang sama sistematisnya dengan jaringan mafia tersebut. Akibatnya, respon aparat hukum dan pemerintah pun menjadi parsial dan reaktif.

Ketiga, adalah kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri, pekerjaan ini tidak diakui, oleh karenanya tidak ada standard normatif baik jam kerja maupun upahnya. Relasi kerja semata-mata antara majikan dan pembantu yang bersangkutan. Dan reward-nya ditentukan oleh majikan dengan logika charity. Jika sedikit itu wajar dan jika cukup maka berarti majikannya baik hati. Begitupun jam kerja, yang pasti mereka bekerja mulai majikan belum bangun hingga tidur lagi.

Sedangkan bagi pekerja rumah tangga yang diluar negeri, nampaknya lebih baik. Ini diukur dari berapa uang yang dia kirimkan ke keluarganya. Padahal kalau kita lihat lebih dalam, bagaimana mereka menerima perlakuan dari majikan? Seorang pembantu rumah tangga (PRT) di hongkong menerima upah senilai 7 juta rupiah per bulan. Dia tidur di tempat terbuka (tidak ada kamar khusus untuk dia), tidak boleh sholat dan tidak ada hari libur. Meski di Hongkong ada kebijakan memberikan hari libur kepada pembantu rumah tangga, sehari dalam seminggu, namun tetap saja tergantung majikannya. Bahkan, tidak sedikit tenaga kerja wanita (TKW) yang disiksa oleh majikan seperti Herlina, Nirmala Bonat, dan lain-lain yang selalu menghiasi media massa setiap hari.

Bahkan yang terbaru adalah pembunuhan berantai terhadap TKW, di Sedati Sidoarjo dengan modus mencarikan kendaraan pulang dari bandara Juanda ke kampungnya, yang mayoritas dari NTT dan luar surabaya. Sambil menunggu tiket, korban di tampung di rumah kontrakan pelaku di perumahan Candra Mas Sedati, sekitar 10 km dari bandara Juanda. Mereka diperlakukan dengan baik, hingga paspor dan uang korban dititipkan ke pelaku dengan sukarela. Uang dan paspor dijanjikan untuk diberikan pada saat akan pulang. Korban dipulangkan secara bergiliran pada malam hari yang ternyata dibunuh di perjalanan. Sekarang pelaku eksekusi ditahan di polwiltabes Surabaya sedangkan pelaku utama (Yudi dan istri muda nya) masih menjadi buronan (daftar pencarian orang). Dan yang menarik dalam penanganan kasus ini adalah nampaknya kasus akan berhenti sebagai krimial biasa, bukan sindikat yang melibatkan banyak pihak.

Deskripsi singkat kasus-kasus di atas, mengajak kita untuk menatap realitas bahwa ada fakta kekerasan yang menimpa seseorang, karena dia berjenis kelamin perempuan, baik fisik maupun psikis. Kedua, ada fakta bahwa kasus-kasus kekerasan tersebut tidak tuntas diselesaikan. Melainkan dibiarkan hingga masyarakat lupa. Dan bahkan terulang dengan modus yang variatif.

Lantas, dimanakah kita masih bisa menggantang harapan? Kepada siapakah kita bisa menitipkan penyelesaian kasus ini. Dan kapankah kita bisa tersenyum melihat kasus selesai?

Tulisan ini akan mengulas posisi hukum dalam merespon berbagai persoalan, khususnya hak dan kepentingan perempuan. Masih bisakah kita berharap pada hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa perempuan tersebut? Hukum yang seperti apakah yang mampu memenuhi harapan dan kepentingan perempuan?

TIGA PILAR DALAM MELIHAT HUKUM

Sedikitnya ada tiga hal yang harus kita perhatikan dalam melihat hukum, yaitu proses pembentukan hukum, proses penegakan atau pelaksanaan hukum dan substansi hukum.

Pertama, Proses legislasi (pembuatan hukum).

Pertanyaan yang mungkin harus dijawab adalah bagaimana keterlibatan perempuan?

Secara teori pembentukan peraturan perundangan di Indonesia diatur dalam UU No.10 tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundangan. Dalam UU ini diatur tata urutan peraturan perundangan, prosedur pembuatan setiap peraturan, materi muatan setiap peraturan sampai bahasa peraturan.

Tata urutan peraturan perundangan kita, mulai yang tertinggi meliputi UUD 1945, UU/perpu, PP, perpres dan perda (perda propinsi, perda kota/kab, perdes). Dimana berlaku asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika bertentangan maka peraturan yang lebih rendah tersebut harus dibatalkan.

Sedangkan materi muatan masing-masing level berbeda, yang secara sederhana bisa digambarkan sebagai berikut:

JENIS
MATERI MUATAN
UU/Perpu
1. Melanjutkan UUD 1945:
1. HAM
2. Hak dan kewajiban warga negara
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara
4. Wilayah negara dan pembagian daerah
5. kewarganegaraan dan kependudukan
6. keuangan negara
2. menjalankan perintah UU

PP
Materi untuk menjalankan UU
Perpres
Materi yang diperintahkan oleh UU/materi untuk melaksanakan PP
Perda
1. seluruh materi untuk dalam rangka penyelenggaraan otoda dan tugas pembantuan
2. menampung kondisi khusus daerah
3. penjabaran lebih lanjut peraturan perundangan yang lebih tinggi

Perdes
1. Segala materi tentang penyelenggaraan urusan desa/yang setingkat.
2. penjabaran lebih lanjut dari peraturan yang lebih tinggi.

Catatan:

Ketentuan pidana hanya ada pada UU dan perda.

Dari matrik materi muatan tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa UU No. 10 tahun 2004 ini tidak intervensi menyangkut substansi peraturan, baik paradigma ataupun karakter dari peraturan. Karena ini domain-nya (wilayah) politik, artinya ditentukan oleh perdebatan antar legislator. Sialnya, yang dimaksud dengan legislator di Indonesia hanya eksekutif, DPR, DPD dan DPRD, dengan komposisi paling besar adalah eksekutif. Bagaimana tidak, eksekutif terlibat dalam semua level peraturan, Sedangkan DPR dan DPD hanya pada level UU. Begitupun DPRD hanya pada level perda. Bahkan untuk PP dan perpres hanya menjadi domain-nya Presiden. Secara lebih detail kita dapat perhatikan dalam matrik berikut ini:

Tahapan sesuai UU 10/2004

Yang dilakukan

1. UU / perpu

Perencanaan
Prolegnas / prolegda
Persiapan pembentukan
– Dalam keadaan tertentu, usulan bisa di luar prolegnas.
– Pola relasi antar inisiator (DPR, DPD, Presiden).
– Teknisnya diatur dalam PP
– Inisiatif DPD diajukan ke DPR.
– Inisiatif DPR diajukan oleh DPR.
– Tata cara pengusulan akan diatur dengan peraturan tatib DPR.
– Inisiatif presiden: yang menyiapkan menteri atau pimpinan lembaga non departemental.
– Tata cara mempersiapkannya diatur dengan perpres.

Pembahasan
– Tata cara pembahasan RUU diatur dengan tatib DPR, termasuk tata cara penarikan kembali RUU.
– Tahap pembahasan perpu menjadi UU, peran DPR hanya menerima atau menolak. Jika ditolak, maka perpu dinyatakan tidak berlaku dan presiden mengajukan RUU tentang pencabutan perpu tersebut, yang didalamnya juga mengatur segala akibat dari penolakan.

Pengesahan
– RUU yang sudah disetujui bersama, diserahkan oleh pimpinan DPR ke Presiden untuk disahkan menjadi UU, paling lama 7 hari sejak disetujui.
– Penandatanganan maksimal 30 hari sejak disetujui. Jika tidak ditandatangani tetap dinyatakan sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Pengundangan
Melalui:
1. Lembaran negara
2. Berita negara
3. Lembaran daerah
4. Berita daerah

Penyebarluasan
Melalui :
1. Berita negara dan berita daerah
2. PP
Diatur dengan perpres
3. Perpres
Diatur dengan perpres
4. Perda

Inisiatif bisa dari :

1. DPRD :
1. Disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi
2. Penyebarluasannya dilakukan oleh sekwan
3. Selanjutnya diatur dengan tatib

2. Gubernur:
1. Diajukan dengan surat pengantar tertulis gubernur, kepada DPRD
2. Penyebarluasannya dilaksanakan oleh sekda

3. Bupati / Walikota (idem)

Dari matrik proses pembuatan setiap peraturan perundangan, kita bisa lihat bahwa tidak ada ruang bagi kelompok kepentingan lain termasuk masyarakat dan perempuan untuk menjadi inisiator maupun pihak dalam pembentukan peraturan. Kalau pun ada, hanya berhenti sampai memberikan masukan baik tertulis maupun lisan, pada tahap persiapan pembentukan dan pembahasan UU dan perda . Masukan tersebut sifatnya tidak mengikat, jadi diakomodir atau tidak, terserah pembuat peraturan.

Ketiadaan peran serta masyarakat (termasuk perempuan) dalam proses pembentukan peraturan perundangan, didalilkan pada demokrasi perwakilan, apalagi semua sudah dipilih secara langsung. Namun demikian, faktanya tidak linier dengan perbaikan kualitas produk hukum. Masih saja hukum lebih berpihak pada kepentingan pembuatnya sendiri yang notabene berbanding terbalik dengan kepentingan masyarakat umum, apalagi kepentingan perempuan – yang terlanjur dianggap tidak mendesak dan tidak penting ini.

Hal lain yang diatur dalam UU ini adalah bahasa dan performance peraturan yang dimuat dalam lampirannya.

Kedua, Substansi Peraturan

Proses dan prosedur pembentukan peraturan sebagaimana diatur dalam UU No.10 tahun 2004, tentu mempengaruhi substansi peraturan yang bersangkutan. Ini logis, bahwa substansi peraturan pasti mencerminkan kepentingan pembuatnya. Oleh karenanya, pengaturan proses dan prosedur pembentukan peraturan dalam UU tersebut bukan tanpa maksud. Inilah yang orang sering menyebut dengan politik hokum.

Sebagai contoh, saya ingin mengajak anda untuk mengingat substansi UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ide dasarnya kelompok perempuan mengusulkan UU ini adalah ingin menggeser paradigma bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan persoalan privat yang harus ditutupi dan diselesaikan secara internal, melainkan persoalan publik. Oleh karenanya, negara harus melakukan intervensi yang proaktif. Mengingat yang potensial menjadi korban adalah perempuan dan anak, dimana terdapat ketimpangan power dan posisi tawar dibandingkan kelompok yang potensial menjadi pelaku baik secara psikis maupun ekonomi. Secara ekonomi, korban (anak dan perempuan) bukan pencari nafkah sehingga tidak produktif. Secara psikis, antara pelaku dan korban memiliki hubungan emosional yang sangat dekat karena pelaku biasanya orang yang dihormati dan pengambil keputusan di rumah.

Namun demikian apa yang kita temui. Dalam pasal 51 – 53 dinyatakan bahwa kekerasan fisik, psikis dan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan, artinya delik (tindak pidana) tersebut hanya akan diproses secara hukum jika ada pengaduan dari korban. Dan apabila korban mencabut pengaduannya maka proses dihentikan meski belum selesai. Padahal, yang paling rentan menjadi korban dalam kasus KDRT adalah istri. Ini artinya, secara paradigmatik, sebenarnya tidak ada yang maju dibandingkan pengaturan sebelumnya dalam KUHP.

Mengapa tidak terjadi pergeseran paradigma? Jika kita kembali kepada politik hukum, maka bisa dilihat bahwa kelompok yang potensial menjadi korban tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan UU ini.

Contoh lain, mari kita lihat substansi dari UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dalam UU ini, pelaksana penempatan TKI LN adalah pemerintah dan swasta, namun demikian yang diatur lebih lanjut dengan detail adalah yang swasta. Sedangkan penyelenggara yang pemerintah dimandatkan kepada PP, yang hingga sekarang juga belum ada. Dari sini nampak bahwa peran aktif negara telah dialihkan ke swasta. Konsekwensinya, maka hukum bisnis yang dominan, dimana buruh migran khususnya perempuan sebagai obyek bisnis tersebut. UU ini jelas jauh dari semangat perlindungan. Relasi antara perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), user dan buruh migran semata-mata relasi bisnis. Mengapa perempuan yang lagi-lagi paling rentan? Karena faktual buruh migran perempuan lebih banyak dari pada yang laki-laki, dengan pekerjaan di sektor informal (PRT).

Persoalan yang menimpa buruh migran terutama perempuan sudah ada sejak belum ada UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKI-LN, dan ironisnya lahirnya UU tersebut bukan menjadi solusi tetapi menjadi masalah baru, karena bisnis manusia ini justru semakin legal.

Ketiga, Law enforcement (pelaksanaan hukum).

Beberapa poin yang kita jadikan parameter adalah soal keberpihakan aparat terhadap perempuan. Jargon yang didengungkan selama ini bahwa hukum dan aparat hukum itu netral. Semua bekerja berdasarkan peraturan. Apakah demikian faktanya?

Kalau kita cermati lebih dalam, definisi netral itu sebenarnya adalah dominan laki-laki (male dominated).

Sebagai contoh adalah alat bukti dan proses pembuktian. Pada kasus perkosaan, selalu yang menjadi alat bukti adalah visum. Padahal visum ini tidak menunjukkan siapa pelakunya. Visum juga hanya relevan jika korbannya seorang gadis. Padahal korban perkosaan bukan hanya gadis. Visum juga memiliki batas waktu tertentu, padahal korban belum tentu langsung berani melaporkan. Proses pembuktian pada kasus perkosaan juga bias gender. Korban harus benar-benar siap mental. Karena tidak jarang dia harus meyakinkan aparat bahwa kejadian itu bukan suka-sama suka, ada pemaksaan, ada ancaman. Karena asas dalam penyidikan adalah asas tidak percaya. Lantas apakah aparat salah? Tentu tidak. Ini adalah sitem dimana substansi hukum dan prosedur penegakannya memang begitu. Inilah yang disebut hukum male dominated.

PENUTUP

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menegaskan tiga hal. Pertama, Hukum bukan segala-galanya untuk menyelesaikan persoalan perempuan. Namun posisi hukum sangat strategis dan oleh karenanya sangat efektif untuk merespon persoalan hak dan kepentingan perempuan.

Kedua, Dengan tiga parameter tersebut diatas (proses, content dan enforcement) , dapat kita simpulkan bahwa hukum akan mampu melindungi hak dan kepentingan perempuan jika memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Dibuat oleh orang yang memilki perspektif perempuan
2. Prosesnya partisipatif, dengan melibatkan perempuan
3. Substansinya mencerminkan perlindungan dan kepentingan perempuan
4. Ditegakkan dengan konsisten dan oleh aparat yang memiliki perspektif perempuan.
5. Pengawasan dari masyarakat yang aktif, karena hukum terbuka untuk dirubah agar tetap relevan.

Ketiga, perombakan hukum sudah diinisiasi oleh pegiat perempuan. Baik melalui legislasi drafting, masuk dalam lingkaran politik dengan menjadi anggota legislatif hingga menjadi sahabat aparat dan birokrat. Hasilnya juga tidak sedikit. Ini semua memang proses panjang, dan tentu kendalanya sangat banyak. Namun, hukum yang melindungi hak dan kepentingan perempuan akan semakin terwujud jika kita semua ambil bagian, sekecil apapun. Dan hasilnya tidak harus kita yang menikmati.