memilih membiarkan

Bagi kebanyakan orang, setidaknya mereka yang bijak itu, mengatakan bahwa komunikasi yang lancar adalah salah satu cara mempertahankan hubungan baik kita dengan seseorang (bisa juga banyak orang). Komunikasi yang lancar memang salah satu, tetapi ternyata tidak sekadar salah satu. Karena komunikasi yang lancar termasuk dalam level teratas. Aku sempat sepakat dengan ungkapan itu. Ya, bagaimana tidak sepakat, hampir setiap kepala di dunia ini dengan tegas mengatakannya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa memang itu benar. Tapi persoalannya adalah aku belum bisa membuktikan hal itu dalam kehidupanku. Kau tau? Aku lebih memilih membatasi komunikasi dengan seseorang. Hanya karena aku takut, dengan komunikasi itu aku menyakitinya dan menyakiti diriku sendiri.

Aku takut dengan komunikasi, aku akan terlalu sering kecewa begitupun seseorang itu. Oke, ini memang rumit. Aku tidak terbiasa membahasakannya secara konkrit, selalu saja abstrak. Seperti yang sudah berlalu (meskipun ada potensi untuk terulang lagi), dimana aku dan dia yang terlalu sering kecewa di tengah maupun di akhir pembicaraan. Entah siapa yang memulai, tapi saat itu sangat jelas terasa dimana aku merasa kecewa, begitupun dia. Awalnya sama-sama berangkat untuk berbagi, lalu tanpa sadar ada sesuatu yang menyakitkan muncul. Entah dari kata-kata itu sendiri, makna kata-kata itu sendiri, intonasi pengungkapan, ataupun kelalaian-kelalaian lainnya. Ada saja yang menyebabkan dimana komunikasi aku dan dia hanya menimbulkan kekecewaan salah satu pihak maupun masing-masing pihak.

Jika sudah begitu, biasanya aku mulai bertanya , “lalu sebaiknya bagaimana? Apa yang terbaik untuk kita?” dan lain sebagainya dan lain sebagainya. dan, entah ini kabar baik atau malah sebaliknya, sampai sekarang aku belum mendapatkan jawaban bagaimana seharusnya aku bersikap. Karena seseorang itu, pun memilih diam. Dan akupun mulai merasa takut untuk berkomunikasi terlalu sering. Aku takut karena akan ada kecewa di sana. Aku hanya tetap bertahan dengan asumsiku, bahwa ini sangat tidak sehat. Ya, aku tahu ini tidak sehat. Sangat tidak sehat untuk sebuah hubungan. Belum lagi mata dan isi kepala mereka yang selalu mempertanyakan kenapa komunikasiku tidak lancar dengan seseorang itu. Tapi aku rasa aku tidak perlu terlalu sibuk untuk melayani mereka. Meski kuterima konsekuensinya, dimana ketika kukurangi komunikasi, maka yang ada hanya sepi. Dan yang tidak pernah mereka ketahui, adalah rasa perih. Perih itu adalah akibat.

Tentang ini, aku mengaku terbatas dalam mengungkapkannya. Aku tau kau pernah merasakan ada di sana. Di tempat itu. Di tempat yang sudah sangat akrab kukenal. Perih. Kecewa. Sakit. Dan rasa-rasa sejenisnya. Hingga aku terbiasa dan semakin akrab saja. Dan aku memilih menghindari konflik berkepanjangan. Meski konsekuensi dari semua itu adalah aku merasa sepi. Aku sepakat dengan konsekuensi itu, tetapi aku tidak sepakat dengan makna “sepi” yang selama ini mengakar kuat di ruang kepala banyak orang. Makna sepi selalu memiliki konotasi yang hampir seragam. Setidaknya di kepala kita. Alhasil, seseorang yang merasa kesepian, akan mendapat penilaian tersendiri dan menimbulkan cara pandang serta sikap dari jiwa lain yang mengetahuinya. Makna sepi yang aku maksud bukan itu. Aku memiliki cara pandang tersendiri tentang itu. Ya, karena aku menikmati sepi itu. kesepianlah aku; belajarlah untuk menerima kesepian itu. Buat peta untuk itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupmu, duduklah bersamanya. Sambutlah pengalaman itu. Tetapi jangan pernah menggunakan tubuh dan emosi orang lain sebagai tempat pelarian untuk kerinduanmu yang tak terpenuhi. Mungkin berlebihan jika kukatakan aku sepakat dengan Liz tentang rasa sepi.