tentang debar

aku terbiasa bertanya. tapi tidak harus kau jawab. karena memang tanya itu hanya untuk memuaskan inginku. aku bertanya, lalu aku berfikir sendiri. setidaknya aku berfikir tentang suatu hal, lalu belajar bagaimana menyelesaikannya. kali ini tentang debar. seberapa banyak debar yang pernah kau ciptakan. tolong jangan terburu-buru menjawab. ya, tentang seberapa banyak debar yang kau ciptakan. atau mungkin tiba-tiba debar itu mendatangimu. sosoknya memang tidak bisa dipastikan akan datang kapan dan dimana. jika kita berfikir bahwa debar sebagai pertanda datangnya masalah, atau malah debar itu sendiri yang memang sebagai masalah. maka tenanglah, kita telah mengusirnya, setidaknya di masa lalu. ya, bagian terberat dalam hidup kita sudah berada di belakang kita. lalu? lalu bersiaplah kembali untuk debar-debar yang lainnya. karena sejatinya kita memang tidak bisa menghindar dari debar-debar berikutnya. kecuali kita mampu merubah pola pikir kita tentang debar-debar itu. mungkin kita memang tidak pernah secara yakin menyatakan kesiapan kita untuk hidup. tapi kita telah siap bahkan sukses menyelesaikan masalah demi masalah. ya, kau benar, hidup hanya untuk menyelesaikan masalah demi masalah. begitupun debar-debar itu. mungkin tidak sedramatik memperdebatkan masalah dalam hidup. tapi sosoknya memang sangat nyata. setidaknya di rasa kita.

mungkin aku bisa memulainya dengan kisahku. ada debar-debar yang bisa kita ingat jelas hingga kini, ada juga debar-debar yang tanpa sadar kita abaikan. okay, sepertihalnya anak-anak lainnya, aku pernah dilanda gugup yang sangat. ketika itu beberapa saat sebelum melangkahkan kaki ke podium untuk mengikuti lomba pidato. dadaku bergetar hebat. lalu aku punya ide untuk menahan nafas. tapi yang terjadi adalah, bumi bergetar seakan tersenggol oleh dahsyatnya detak jantungku. aku tahan tidak terlalu lama, karena ternyata debar terus menderaku. hingga tiba saatnya aku harus menerima kenyataan untuk naik ke podium. aku masih berdebar. aku semakin grogi. tapi aku masih bisa menahan ambruknya tubuhku. aku terbata-bata. masih terbata-bata. sambil terbata-bata, aku berfikir, lalu aku kembali ke tekad awalku. aku mengutuk debar. yang berarti aku mengutuk rasa grogiku yang tak seberapa dibanding rasa maluku jika gagal menyampaikan pidatoku. tepuk tangan penonton, yang notabene teman dan lawanku, tiba-tiba membuatku bergelora. aku mampu mengusir debar, setelah berlama-lama mengutuknya. pidatoku tersampaikan dengan baik, bahkan salah satu kawan mengatakan terlampau baik. aku berapi-api, begitu pujinya.

dari situ aku baru sadar, bahwa pidato yang telah kusampaikan, ternyata sebagian besar tidak ada di teks pidato yang sudah kukonsep dan kuhapalkan. di podium, aku telah mampu mengembangkannya. saat menyampaikan pidato, aku baru merasa, bahwa aku yang di podium bukanlah aku yang biasanya. tapi aku mengenal sosok itu. ya, sosok itu adalah bagian lain dari diriku. dan debar itu telah mendorongnya keluar. lalu aku berterima kasih pada debar, yang berarti aku berterima kasih pada diriku, sosok diriku yang lain. lalu? lalu aku tidak pernah tidak keluar tanpa debar. bahkan ketika harus keluar untuk membeli sarapan, pun debar dengan setia menemaniku. dari sini, kau bisa menilai tentang pola pikirku atas debar-debar itu. tapi tak perlulah…kita pikirkan saja debar yang ada di diri kita. tapi tak perlu kau pikirkan laiknya kau berfikir tentang kompleksnya masalah yang mendera Negara kita.