bukan tentang tubuh

kembali sendiri. sepi. sepi dan sendiri, seperti biasa. Setidaknya itu yang sering mereka lontarkan. Hanya karena tak ada seseorang yang seharusnya ada. Dan seperti biasa, aku hanya membiarkan mereka melontarkan sebanyak apapun kata tentangku. Aku tetap dengan duniaku. Begitupun seseorang tersebut, dia tetap dengan dunianya. Beberapa waktu lalu, kami memang sempat bersama selama beberapa hari. Namun aku tidak ingin berlebihan. Ingat, sesuatu yang berlebihan akan menimbulkan…ya, tepatnya menimbulkan sesuatu. Kami harus kembali melakukan sesuatu. Kita berada di suatu tempat untuk melakukan sesuatu. Maka itu yang kami lakukan. Agar ada sesuatu yang dilakukan, maka kami kembali ke dunia kami masing-masing. Aku kembali ke duniaku. Begitupun dia, kembali ke dunianya.

Sejatinya dunia kami sama. Tidak ada beda sedikitpun, tapi masing-masing memiliki tempatnya. Dan itu hanya persoalan jarak. Kami berterima kasih pada jarak. Aku rasa tidak ada salahnya kalau aku berfikir bahwa jarak hanyalah materi. Seperti tubuh kita. Karenanya, kami tetap tidak berfikir bahwa itu suatu persoalan. Aku selalu membisikkan, bahwa tubuh kita bukanlah milik kita sepenuhnya. Hanya jiwa yang sepenuhnya milik kita. Kita berkuasa atasnya. Bagaimana agar kita tetap sadar untuk selalu mengontrolnya. Ini memang rumit. Tapi tak perlu dianggap rumit. Tergantung bagaimana kita memaknainya. Bagi Plato, tubuh adalah penjara/makam jiwa. Santo Paulus, memaknai tubuh sebagai bait Roh Kudus. Descartes, memaknai tubuh manusia sebagai sebuah mesin. Dan Sartre, memaknai tubuh sebagai saya…saya adalah tubuh. Setidaknya itu sedikit dari yang pernah kubaca dari Tubuh Sosial; Simbolisme, Diri, dan Masyarakat -nya Anthony Synott. Baginya, tubuh bukan hanya kulit dan tulang, dirangkai dari bagian-bagiannya, sebuah keajaiban medis. Tubuh juga, dan utamanya, merupakan sebuah diri. Kita semua bertubuh. Sesuatu yang jelas, dan utamanya, merupakan sebuah diri. Kita semua bertubuh. Sesuatu yang jelas, sekalipun apa yang terjadi di dalam praktik mungkin tidak selalu begitu. Berbagai kontroversi menghebat di sekitar tubuh, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana ia harus ditinggali dan dicintai.

Hei…tunggu dulu, aku tak ingin mengungkap tentang tubuh berlama-lama. Tubuh. Bukan ini sebenarnya yang ingin aku ungkap. Bukan tubuh. Aku hanya ingin membantah, bahwa aku tidak merasa sendiri dan kesepian, seperti yang mereka tuduhkan padaku. Di duniaku, aku memiliki kesempatan untuk melakukan banyak hal dengan tubuh dan pikiranku. Aku sudah terlalu lama berpikir banyak hal. Aku sudah terlalu lama berdebat dengan diri. Namun yang terjadi, aku sering merasa enggan membahasakannya. Begitupun dengan buku-buku yang telah kubaca dan ribuan buku yang belum aku baca. Tapi dalam beberapa bulan terakhir ini, aku telah membeli banyak buku yang menurutku wajib aku baca. Ini bukan persoalan gengsi atau tidak. Ini persoalan kehausan. Pikiran dan jiwaku harus memakan sesuatu. Dan harus diberi protein, vitamin, suplemen, atau apapun istilahnya. Yang pasti tidak kelaparan, lebih-lebih hampa. Dan tentang ini, hanya aku yang memahami seberapa hausnya aku akan suplemen-suplemen itu. Aku telah berfikir banyak hal. Bahkan sejak aku kecil. Sejak dunia tak menganggapku ada, meski sampai sekarang belum di anggap ada. Sejak aku tak mengetahui berbagai hal di balik ’peta’ dunia. Dan fatalnya, semua yang aku fikirkan belum tertangkap pena. Aku masih belum keluar dari ruang kepalaku. Aku masih asyik dengan pikiran-pikiranku sendiri.