benar, aku menangis…
“bacalah, kau pasti menangis…,” ujar lelaki paruh baya itu tentang tulisannya yang telah dibukukan bersama sejumlah penulis lainnya. ia menulis tentang Gus Dur. Tulisan “epilog”-nya di urutan paling akhir. Tepatnya, sekitar dua puluh enam halaman sebelum kata penutup dari buku berjudul “Gus Dur: Bertahta di Sanubari”. Epilog-nya berjudul “Matahari Telah Pulang: Merenungkan Sufisme Gus Dur”. Seperti tulisan-tulisannya yang lain, kata-katanya lembut, mengalir, jernih, sarat makna, dan tentu saja jumlah kata-katanya lebih banyak dibanding penulis lain yang juga menuliskan kesannnya tentang sosok Presiden ke-4 Indonesia itu.
Saat itu aku menurut. Aku membacanya. Di setiap kalimat yang kupikir aku membutuhkan ruhnya, aku berhenti. Lalu mencatatnya. Di sana, melalui kata-kata yang dituangkannya tentang Gus Dur, aku belajar. Tapi di sini, aku tidak bisa menyimpulkan lebih banyak. Aku hanya mencatat sedikit dari kata-kata yang bagiku aku perlu mengikat maknanya. Mungkin di antaramu akan merasakan apa yang kurasa. beberapa di antaranya;
“Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tak dikenal. Sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berbuag sempurna (al Hikam, karya Ibnu Athailla al Sakandari).”
Katanya, kalimat tersebut yang sering diulang-ulang Gus Dur.
“Simpanlah hasrat dan ambisi akan popularitasmu, kemasyhuran diri. Simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna.”
Dia benar, hasrat akan kemashuran hanya akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat. Cinta pada kemasyhuran juga mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Makna lain dari ini adalah perlunya ketulusan dan keikhlasan. “sepilah ing pamrih, ramelah ing gawe”
“Tak usah temani orang yang tak membangkitkan tingkah-lakumu dan yang kata-katanya tak membingungkanmu kepada Tuhan.”
Kata Nabi Muhammad SAW; “Islam hadir bagai orang asing, bagai pengembara. Ia akan kembali asing, aneh, seperti awal. Maka berbahagialah wahai orang-orang yang mengembara.”
Katanya, Gus Dur tak pernah takut pada mata yang membenci. Dan memang benar.
“Pikiran adalah misteri tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran-pikiran pada hamba-hambaNya.”.
Kemudian Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi: “Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat.”
Itulah sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. Itulah sifat seorang sufi, seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembus kedalaman makna kata-kata Tuhan. Karena kata-kataNya memiliki berjuta makna dan tak terbatas. Pemaksaan atasnya tak akan menghasilkan apa-apa, sia-sia, kecuali membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, dan menghambat kemajuan peradaban manusia.
Lalu, usai membaca tulisannya, aku benar-benar menangis, meski tanpa air mata. dan lelaki paruh baya itu benar. Buya Hussein, demikian aku menyapa lelaki itu. dia memiliki nama lengkap KH Hussein Muhammad, seorang Feminist Muslim asal Cirebon Jabar Indonesia.
Subhanallah..moga gusdur tenang di sisiNya amin.
LikeLike
Amiiin…
LikeLike
Salam super-
Salam hangat dari pulau Bali-
semoga semua baik baik saja ya…
LikeLike
yup! salam super juga dari blogger di sini, semoga semua baik-baik saja.
LikeLike
Haii, malam ni ku mau tamatin blog alimah, maklum dah banyak ketinggalan
(Bentar yah, ni komen dulu baru baca 🙂 )
LikeLike
waduh Nad, dijamin tamat, kan tulisannya dikit2.hehehe…semangat!!!makasih Nadya…
LikeLike
Pingback: berdialoglah « kosong
Halo Alimah. Ternyata penggemar Gus Dur juga. Satu dari beberapa tokoh (ketika beliau hidup) yang bisa membuat saya berpikir Indonesia masih baik2 saja.. Hehe
LikeLike
Halo jg Arie. benar. mungkin bisa juga disebut Gusdurian, meski gak pernah ngumpul2 dengan Gusdurian yang lain.
LikeLike
Pingback: mengenal kyai feminis Indonesia | my last paragraph