Tiga Begawan di Negeri Kincir Angin

Dalam kadar berbeda, mereka menentukan arah dan produk revolusi. Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda. Meski Tan Malaka hilang dalam gerhana, tapi hanya ia dan Sjahrir yang menuangkan gagasan mereka dalam tulisan.

Ya, Ketiga dari Tujuh Begawan Revolusi selain Soekarno, Amir Sjarifoeddin, Sudirman, dan A.H. Nasution, ada Sjahrir, Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Ketiganya, Sjahrir, Hatta dan Tan Malaka bergelora di negeri kincir angin itu. Dadaku berdecak kencang, membayangkan derap langkah mereka menelusuri lantai kampus negeri kincir angin. Lebih-lebih ketika ketiganya berkisah tentang setengah dari usianya sebagai pelajar di Belanda. Tentang bagaimana mereka bergerombol dengan para mahasiswa di sekitar gedung berarsitektur klasik.

Hatta dan Sjahrir

Kampus Impian, Pergaulan Egaliter, dan Pusat Budaya

Aku kembali membayangkan gelora mereka seperti digambarkan buku-buku dan majalah. Laiknya pemuda Hatta di suatu siang dalam musim gugur, tepatnya September 1921. Ia berdiri dengan pikiran berkecamuk di satu sudut Rotterdam. Pemuda berusia 19 tahun itu Sebagai mahasiswa baru di Rotterdamse Handelshogeschool. Ya, apalagi yang ada di pikirannya selain bagaimana mendapatkan buku-buku yang terpampang di sudut Rotterdam itu.

Rotterdam adalah sebuah gameente Belanda yang terletak di Povinsi Zuid Holland. Gameente adalah sebuah istilah dalam bahasa Belanda dan merupakan sebuah nama pembagian administratif. Dalam bahasa Indonesia, kata ini kurang lebih bisa diterjemahkan dengan “Kotamadya”. Hatta menyimpan banyak cerita di negeri Belanda. Di sana ia bergaul dengan banyak orang dan belajar menjadi manusia. Ia berdebat, bertemu dengan tokoh komunis seperti Semaun dan Tan Malaka, serta belajar berorganisasi.

Tan Malaka

Tan Malaka, pemuda yang setengah dari usianya dilewatkan di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Tan Malaka memang mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta dan Sjahrir. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin.

Sementara pemuda Sjahrir, pada usia yang baru menginjak 20 tahun, sudah mengecap kehidupan yang relatif modern saat bersekolah di Algemene Middelbare School di Bandung. Namun Amsterdam, kota di Benua Eropa itu, jelas lebih kosmopolitan ketimbang Bandung. Pergaulan antarmanusia di sana juga egaliter. Sementara itu suasana asri di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam dikelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu. Fakultas ini merupakan impian mahasiswa dari seantero negeri, bahkan luar negeri, yang ingin mempelajari ilmu hukum. Tak aneh bila fakultas ini memiliki jumlah mahasiswa dan pengajar terbanyak dibanding fakultas lain.

Universitas Amsterdam

Fakultas ini memiliki fasilitas lengkap. Perpustakaannya, misalnya, menyimpan jutaan buku. Suasana belajar juga sangat nyaman. Di sepanjang lorong-lorong gedung fakultas terdapat beberapa kios yang menjual buku-buku bekas berharga miring. Buku murah itu jelas amat membantu mahasiswa yang berkantong cekak.

Amsterdam memang memikat pemuda Sjahrir. Maka, selain mengikuti kuliah dan mengunjungi perpustakaan kampus, Sjahrir juga sering ngelencer mendatangi pusat budaya atau tempat-tempat berkumpul mahasiswa. Salah satu lokasi yang sering ia kunjungi adalah bioskop alias Cinema Tuschinski di kawasan Rembrandtplein. Sejak kedatangannya ke Negeri Kincir Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus. Dunia luar, pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa, lebih menarik perhatiannya ketimbang kegiatan belajar dan diskusi di dalam ruang kuliah.

Di kota Leiden negeri Belanda, nama Sjahrir bahkan diabadikan menjadi nama jalan. Sungguh masyarakat Belanda menghargai jasa-jasa Bung Kecil ini. Mengapa? Jawabnya sederhana karena tokoh Sjahrir dikenang baik oleh masyarakat Belanda. Tidak saja karena Sutan Sjahrir pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, tapi banyak sekali kenangan manis padanya termasuk perundingan diplomasi Indonesia-Belanda pada bulan November 1946 di desa Linggajati Kuningan Jawa Barat.

Ketiga Begawan revolusi itu bergelora di sebuah negara kecil di Eropa bagian barat laut. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk watak mereka: membaca, belajar, dan menghadapi terjalnya hidup. Membaca kisah ketiga pemuda Hatta, Pemuda Sjahrir, dan Pemuda Tan Malaka, tek heran mereka menjadi Begawan Revolusi. Meski selain mereka, ada banyak pemuda nusantara lainnya yang memilki romantisme sejarah mengenyam pendidikan di negeri penuh bunga itu. Mereka tersebar. Dan mereka adalah ahli pemerintahan, ahli hukum, ahli di bidang budaya, serta teknologi.

Multikulturalism Tak Sekadar Wacana

Tentu saja kawan, di Negara yang kecil tetapi menjadi perhatian dunia ini, pendidikan multikulturalisme tidak sekadar wacana. Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki Holland tidak sebatas bidang ekonomi, budaya, prestasi olahraga dunia, hukum, tapi bidang pendidikan. Salah satunya pendidikan dengan system multikulturalis.

Ya, Dutch mengakomodasi seluruh perbedaan. Semua memiliki hak yang sama ketika berhadapan dengan pendidikan. Orang berkulit hitam, kulit putih, rambut pirang, rambut hitam, mata sipit, dan lain sebagainya bukan lagi menjadi penghalang untuk memberikan dan mendapatkan pendidikan.

Mereka bahkan tidak perlu bersusah payah dalam bernteraksi social. Saya bisa menyaksikan sendiri, bagaimana sejumlah kerabat dan teman yang berkesempatan belajar di sana. Mereka begitu mudahnya bersosialisasi. Bagaimana suasana kekeluargaan dan persaudaraan mereka sangat kental, meski dari beragam budaya dan RAS. Alhasil kemudahan dalam berkomunikasi dan bergaul sangat terbuka, dengan begitu eksplorasi ilmu pengetahuan akan semakin mudah. Budaya diskusi dan tukar pendapat akan sering kita jumpai jika suasana seperti ini yang ada.

Seperti makna multiculturalism, Belanda menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. (https://mylastparagraph.wordpress.com)

sumber:

http://tempointeraktif.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Gemeente

http://www.lintasberita.com