berbagi mimpi buruk

Mimpi adalah kembang tidur. Tapi mimpi terkadang hadir dalam rupa yang seram. Sebuah pengalaman horor yang tak melulu seputar makhluk halus, alam gaib, dan berbagai hal mistis. Ia juga bisa muncul sebagai terror yang berdampak pada keseharian. Alam pikiran kita sendirilah yang mampu mengatasi ketakutan tersebut.

Itulah lead (teras berita) dari sebuah feature SENI dalam Koran TEMPO edisi Selasa (27/4). Tentu saja, awalnya saya hanya tertarik pada gambar lukisannya yang ternyata adalah lukisan Muhammad Taufik, Tiar Sukma Perdana, dan Marendra Surya Ningtyas, tiga seniman muda yang tergabung dalam Komunitas Manual or Dead, dalam pameran lukisan bertajuk “Twisted”, yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur 14, Jakarta, 20-30 April 2010. Bagi teman-teman yang tak sempat membaca koran TEMPO cetak,berikut saya ceritakan secuil dari apa yang ditulis TEMPO.

Ya, lead tersebut adalah apa yang ingin digambarkan ketiga pelukis tersebut. Menurut TEMPO, pameran dengan kurator Ade Darmawan itu, ketiganya tak hanya berbagi mimpi buruk personal mereka, tapi juga menantang dan mendorong interpretasi visual hingga batas-batas ketakutan dan rasa nyaman.

Dengan teknik handdrawing atau manul–ciri khas para seniman Komunitas Manual or Dead–mereka menyajikan figurfigur tak lazim yang membuat bergidik: tubuh yang terpotong, wajah yang dikuliti, dan ceceran darah di mana-mana.

Karya lain seniman yang akrab dipanggil Em Te itu juga tak kalah mengerikan. Dalam tampilan warna hitam-putih, dia melukis seorang gadis yang tengah bermain ayunan di sebuah dahan pohon besar. Tali ayunan itu dikaitkan pada wajahnya hingga kulitnya terlepas, memperlihatkan otot dan daging yang segar.

Wajah yang tercabik-cabik juga terlihat dalam lukisan berjudul Nightmare. Lukisan yang terdiri atas beberapa potret keluarga, lengkap dengan anak-anaknya, itu seolah-olah mengajak pe ngunjung pameran menikmati mimpi buruknya tentang keluarga melalui gambar foto yang terdistorsi. Tak Cuma kulit wajah yang terkelupas, mata terbelalak dengan lidah terjulur, beberapa kepala bahkan pecah dengan darah segar yang memuncrat.

“Ia sedang mengungkapkan ketidaknormalan yang terselubung dari sebuah foto keluarga yang selalu menjadi representasi dari sebuah konstruksi yang terpusat dan terkontrol,” kurator Ade Darmawan menjelaskan.