yang ‘datang’ dan ‘mengubah’ ?

Selalu ada yang bermakna, ada yang perlu bertahan pada diri siapa pun dan dalam situasi apa pun, seperti misalnya kesetiaan dan keutuhan perkawinan. Bukankah selain ada filsuf Herakleitos (5 SM) yang menyatakan bahwa hidup adalah perubahan, dunia juga dilengkapi dengan filsuf Parmenides (5 SM) yang menyatakan bahwa senantiasa ada yang bertahan, ada yang tetap di balik perubahan itu.

Sebelum seseorang ‘mendesak’-ku menjawab pertanyaannya pada suatu malam, aku sudah terpuaskan dengan kalimat Parmenides. Setidaknya, untuk sejenak mampu mengantarku berpikir bijak. Ini tentang sesuatu rasa, ujarnya, yang ‘datang’ tiba-tiba lalu ‘mengubah’ sebuah ‘tatanan’ secara perlahan. Sesuatu itu adalah rasa yang biasanya disimpulkan sebagai “cinta”. Sekilas terlihat gegabah menyimpulkannya sebagai sebuah cinta, apalagi rasa itu muncul tak terduga pada jiwa yang sudah berkomitmen dengan sosok lain yang lebih tepat. Sekilas, memberi jedah pada diri untuk berkutat dalam rasa semacam ini memang terkesan sangat tidak produktif. Setidaknya demikian bagiku ketika rasa-rasa semacam ini muncul. Namun inilah yang terjadi, bisa jadi hampir semua jiwa merasakannya, sanggah seseorang tersebut. Apalagi seorang perempuan yang mengalaminya, lanjutnya. Lalu kami, para perempuan, mencoba menggali lebih dalam, jawaban yang tepat untuk memuaskan rasa heran kami.

Dia, sahabat perempuanku, ini masih dengan pertanyaannya tentang bagaimana bisa seseorang yang telah memiliki suami yang begitu menyayanginya tiba-tiba hatinya menaruh simpati pada lelaki lain? Aku tidak bisa asal menebak, namun berdasarkan obrolanku bersama sejumlah sahabat perempuanku, pertanyaan ini akan muncul pada siapa saja baik lelaki maupun perempuan. Bahkan seorang sahabat yang sudah berumah tangga cukup lama dan memiliki anak-anak yang telah tumbuh dewasa, ia mengaku sering sekali mengalami rasa semacam ini. Ia mengistilahkannya sebagai “riak-riak” dalam rumah tangga. Bahkan sepanjang menjalani rumah tangga, sudah tak terhitung berapa kali rasa semacam itu mendatanginya. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman adalah guru terbaik kehidupan. Maka sepertihalnya ketika aku mengalami kegundahan yang sama, kami pun tak berhenti untuk memuaskan rasa ingin tahu kami mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Termasuk ketika salah seorang kawan yang lain bercerita, bahwa seorang manusia bisa jatuh cinta pada siapa pun dan dalam situasi apa pun, tanpa perlu mempersoalkan mengapa tiba-tiba ia jatuh cinta. Persoalan klasik seperti jatuh cinta lagi pun semakin mendapatkan momentumnya di tengah-tengah dunia yang cepat berubah dan tidak pasti ini. Godaan atau tawaran pesona duniawi pun sering datang sehingga banyak orang sering melupakan bahwa sebenarnya selalu saja ada yang tetap, ada yang bertahan.

Inilah yang sering dilupakan para pendukung suatu perubahan, sehingga tidak aneh jika persoalan klasik jatuh cinta lagi, perselingkuhan, perceraian selalu berulang atau makin sering terjadi. Persoalan jatuh cinta lagi bagi mereka yang telah memasuki rumah perkawinan itu hanyalah satu contoh betapa manusia selalu terlibat dalam ketegangan antara kutub perubahan dan ketetapan, sebagaiman diskusi dua filsuf klasik Yunani mengenai dua prinsip yang mendasari kehidupan itu.

Mengapa orang bisa jatuh cinta lagi?

Ia memulainya dengan pertanyaan mendasar itu. Juga tentang mengapa mesti melanjutkannya dalam perselingkuhan, entah diam-diam atau terang-terangan, dan mengancam perkawinannya? Untuk menjawabnya, aku sangat terpuaskan oleh salah satu uraian dari yayasan Lumbini yang coba kuurai singkat. Menurut artikel ini, bisa saja itu terjadi dikarenakan setiap orang punya peta cintanya sendiri, yaitu semacam panduan batin yang menuntun orang untuk memilih teman hidupnya. Peta cinta yang merupakan suatu prototype tertentu dalam gambaran batinnya, seperti apa lawan jenis yang disukainya. “Kamu adalah tipe ideal saya.” Itulah Wanita Idaman Lain (WIL) saya atau Pria Idaman Lain (PIL) saya. Seperti ahli pasikonalisa, Carl Gustav Jung (1875-1961), The Undiscovered Self, (1968), dalam diri setiap manusia itu terkandung dua prinsip yang saling berlainan namun saling melengkapi, yaitu prinsip anima (prinsip feminim) dan animus (prinsip maskulin). Selain itu, setiap orang juga memiliki typus idealnya termasuk terhadap lawan jenisnya. Karena itu, bisa jadi bahwa WIL seseorang adalah typus ideal dan prinsip anima yang terdapat dalam diri seorang laki-laki, dan PIL seseorang adalah typus ideal dari prinsip animus yang terdapat dalam diri seorang wanita.

Tipe ideal itu tidak selalu hanya menyangkut fisik saja, namun juga bisa menyangkut kualitas-kualitas atau sifat-sifat tertentu. Ada lelaki yang lebih suka pada wanita keibuan, pada perempuan yang atraktif, pada perempuan yang berdada besar atau berpanggul lebar, dan seterusnya. Begitu juga dengan perempuan. Ada yang lebih suka tipe pria kerempeng, pria berotot, yang tepos atau berdada bidang atau lebih tertarik pada pria kebapakan.

Setiap orang memiliki tipe idealnya. Karena itu masing-masing orang memiliki ciri khasnya dan tipe-tipe lawan jenisnya tersendiri. Apabila perangai-perangai ini dikombinasikan maka akan terdapat banyak macam perangai, dan mungkin dalam diri setiap manusia pun mengandung perangai-perangai itu. Namun biasanya juga mungkin hanya ada salah satu atau beberapa saja perangai yang menonjol dan sangat dominan pada diri seseorang.

Begitu beragamnya tipe-tipe seseorang, sehingga tidak mudah mendapatkan pasangan yang sungguh-sungguh ideal. Karena itu dalam perkawinan bisa jadi tidak semua orang berhasil mengabulkan peta cintanya. Tidak semua orang menikah dengan orang menurut gambaran peta cintanya. Temyata banyak suami atau istri menemukan sosok dan pribadi yang tidak sesuai dengan peta cintanya justru setelah terlanjur menikah.

Jatuh Cinta dan Selingkuh

Kegagalan lelaki dan perempuan menemukan tipe idealnya pada istri atau suaminya inilah yang berpotensi menjadi bom waktu perkawinan jika suatu hari suami atau istri punya peluang jatuh cinta dengan orang yang punya tipe persis sama seperti gambar dalam peta cintanya. Peta cinta yang mencerminkan kekasih ideal, kekasih idamannya.

Maka itu, wajariah kalau orang bisa jatuh cinta lagi, meski barangkali perkawinannya itu sendiri berjalan dengan baik dan bahagia. Tidak mustahil suami atau istri yang tampaknya baik dan setia itu temyata memiliki WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain).

Kemungkinan untuk jatuh cinta lagi itu terbuka bagi setiap pasangan. Perkawinan yang bahagia dan moral yang kuat pun belum menjamin orang itu tak jatuh cinta lagi. Masalahnya mungkin bukan karena sengaja atau memang kepingin menghancurkan perkawinan, tapi soalnya karena situasi dan kondisilah, baik internal-dalam diri maupun eksternal-lingkungan yang bisa memungkinkan orang itu terjatuh.

Jatuh cinta lagi itu meski tampaknya wajar dan bisa dimengerti, namun berbahaya bagi keutuhan perkawinan, dan ini bisa diibaratkan seperti kehadiran virus dalam tubuh yang sukar dicegah. Virus ini dapat masuk dan segala pintu: ruang kerja, business dinner, kampus, tempat kursus, jaian-jalan luar negeri, tempat ibadah, ruang kelas, sampai di rumah sendiri pun bisa ditembus olehnya. Sepertinya setiap suami itu diincar oleh seribu perempuan lain, begitu pula istri pun banyak yang mengincar.

Harold Bessel Ph.D, yang banyak menekuni soal-soal cinta dan pilihan teman hidup mengungkapkan bahwa unsur atraksi romantic (romantic attraction), dan kematangan emosi (emotional maturity) sebagai faktor yang juga ikut menentukan mutu suatu perkawinan dan menjadi bahan pertimbangan bagaimana orang memutuskan pilihan teman hidupnya. Tiadanya kedua atau salah satu dari unsur tersebut dapat menggoyahkan perjalanan perkawinan.

Mungkin saja suatu hari suami maupun istri menemukan atraksi romantiknya pada perempuan atau lelaki lain. Keterpikatan dalam pertemuan lelaki-perempuan yang sudah bersuami atau beristri tersebut punya makna erotik dan terasa menemukan peta cintanya. Perempuan atau, pria ideal yang sesuai dengan peta cintanya dan tidak ditemui dalam hidup perkawinannya, sehingga membuatnya jatuh cinta dan membawanya ke jenjang perselingkuhan dan perkawinan.

Tidak Semua dan Tidak Selalu

Peluang untuk jatuh cinta dan jatuh cinta lagi seperti itu memang besar sekali. Bisa saja terus berulang saban kali suami atau istri bertemu dengan tipe idealnya lagi. Tetapi, sebagaimana kehidupan mumi dan suci itu dimungkinkan meski banyak cobaan dan godaan, tentu saja tidak semua orang haras mengumbar emosinya sehingga peluang jatuh cinta lagi itu haras dijadikan kenyataan.

Tidak selalu suami atau istri yang memiliki pasangan bukan idealnya merasa dibenarkan untuk jatuh cinta lagi dan mengadakan perselingkuhan. Keterlibatan orang dengan agama, etika, adanya rasa kesetiaan, sikap dan pandangan hidup yang bijaksana, menjadikan mereka kuat untuk tidak jatuh cinta lagi atau berselingkuh.

Godaan dan Jalan Kesempurnaan

Pada umumnya dalan sepanjang hidup perkawinan, hampir mustahil pasangan hidup itu dapat selalu berjalan di jalan yang mulus tanpa hambatan dan godaan. Setiap suami atau istri tampaknya akan merasakan untuk jatuh cinta kembali, atau mungkin ditaksir dan menaksir kembali oleh perempuan atau lelaki lain.

Untuk itu, bila saat untuk jatuh cinta lagi itu datang, hendaknya suami atau istri siap dan dapat memahaminya. Tidaklah harus terkejut atau menjadi histeris karenanya, namun sebaiknya dapat menyikapinya sebagai fenomenan yang mungkin dapat terjadi dan pandanglah lebih dulu sebagai godaan, tantangan yang harus dihadapi.

Di situlah barangkali letak seninya hidup perkawinan. Godaan harus dihadapi bahkan sebelum dia datang. Bila jeli dan waspada sebenarnya malapetaka perkawinan yang bersumber dari jatuh cinta lagi itu tidaklah datang mendadak dan tiba-tiba. tapi perlahan-lahan. Bukankah the devils comes in small steps?

Meski virus perkawinan itu lihai dan licin, betah dan sabar membidik mangsanya secara perlahan-lahan, sesungguhnya dia dapat dideteksi dan ditangkal seawal mungkin. Dengan kewaspadaan dan niat, kehendak (cetana) yang sungguh-sungguh mnau menghindari, serta mencermati untuk tidak membiarkan dan menciptakan kondisinya, maka virus itu tidak akan dapat menuntut untuk berkembang biak. Bila pasangan anda itu baik dan setia meski mungkin bukan tipe ideal, mengapa harus jatuh cinta lagi kepada orang lain dan meneruskannya ke jenjang perselingkuhan atau perkawinan? Cobalah limpahi pasangan anda yang baik dan setia itu dengan kehangatan, perhatian, dan penghargaan.

Dengan demikian, mungkin dia justru akan jatuh cinta lagi bukan kepada wanita, istri atau lelaki, suami orang lain melainkan kepada anda sendiri. Apakah bukan lebih bak buat dia jatuh cinta kembali kepada anda atau membuat diri anda jatuh cinta kembali kepadanya.

Mungkin pada awalnya memang banyak perkawinan yang didasari oleh semata kecantikan dan kemegahan lahiriah dan gairah seks saja, sebagaimana dengan kehendak dari banyak orang dalam memasuki perkawinan hanya semata untuk dapat bergaul secara seksuil. Namun, dalam perjalanannya. keindahan daya tarik seksuil itu semakin memudar dan tidak lagi menjadi misteri yang mempesona, dan dalam sisi yang lain, sifat, watak, kepribadian lah yang akan menjadi taruhannya.

Lebih dari itu, sesungguhnya yang sangat ideal, yang sempurna dan bernilai 100 dalam hidup perkawinan dan juga dalam realitas tidaklah selalu ada. Yang ada adalah upaya memperjuangkan dan mewujudkannya. Bila daya tarik fisik mungkin telah tidak mempesona lagi, bukankah masih banyak segi-segi lainnya dari sisi dalam atau pribadi pasangan yang masih menawarkan pesona misterinya dan masih dapat digali, diselami. Sumur yang dalam dan menyimpan air yang jernih dan pribadi yang penuh misteri itu tidak akan habis digali walau setiap hari ditimba dan diselami.

Masing-masing memang manusia mengandung misterinya sendiri yang tak habis diselami. Menyelami misteri pribadi pasangan akan membangkitkan kembali keterpesonaan terhadap sosok pasangan itu. Langkah ini mungkin dapat diawali oleh sebuah pertanyaan yang mencerahkan yang muncul di tengah malam ketika memandang dia berbaring, “siapakah orang ini sesungguhnya yang setia menemani saya selama bertahun-tahun?”

Meski barangkali orang memasuki perkawinan untuk menyempumakan dirinya dengan hidup berpasangan namun hidup perkawinan itu sendiri bukanlah sebuah kesempurnaan. Adalah perjuangan kita untuk meningkatkan yang serba terbatas dan belum sempurna.