“obrog-obrog”: tradisi membangunkan sahur
Bulan puasa tahun ini adalah bulan puasa di mana aku bisa menikmati suasana puasa seperti dulu ketika masa kanak-kanak. Menjelang buka puasa akan diramaikan dengan “obrog-obrog” seperti biasa. Paginya, “obrog-obrog” juga akan membangunkan sahurku. Kenapa aku mengatakan ini, karena selama hampir lima tahun lebih, bulan puasa pertamaku selalu ada di luar daerah kelahiranku. Dan yang tidak pernah kutemukan di daerah sekitar Jawa Barat tersebut adalah tradisi “obrog-obrog” salah satunya seperti yang kutemukan di Cirebon. Hari ini saja, sudah ada sekitar tiga grup “obrog-obrog” yang lewat di depan rumahku. Sore hari menjelang buka puasa, para grup “obrog-obrog” tersebut juga kembali menghibur warga di desa. Biasanya, saat menjelang puasa, grup bisa lebih banyak dan lebih meriah dari pada menjelang sahur.
Lazimnya pada bulan Ramadhan, orang membangunkan sahur dengan cara berteriak atau memukul beduk keliling kampung. Tapi berbeda dengan wilayah pantai utara, Indramayu, Cirebon & Brebes. Di daerah pantura ini bukan saja terkena dengan beragam kekayaan laut yang melimpah, tetapi juga beragam tradisi unik ada di sana. Di sana, menjelang sahur akan ramai dengan suara nyanyian yang diiringi musik oleh suatu rombongan yang berkeliling. Bulan Ramadhan kota Indramayu dan Cirebon semarak dengan hingar-bingar musik dari kesenian obrog. Warga di daerah pantai utara (pantura) ini “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan sahur dengan bunyi musik yang khas.
Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya. Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering dipakai, semacam kendang. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera begegas makan sahur. Mereka menyusuri desa-desa dengan memainkan alat-alat musik dan bernyanyi pagi-pagi buta. Biasanya beraksi mulai pukul 2 atau 3 dini hari.
Alat-alat musik yang dimainkan oleh rombongan obrog, dahulu berupa alat-alat musik tradisional. Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas roda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda. Para biduannya juga banyak yang membawakan lagu-lagu dangdut kontemporer. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap.
Dinamika “Obrog-Obrog”
Kata “obrog” berasal dari bebunyian yang dihasilkan alat musik semacam kendang. Sebagai tradisi masyarakat, sulit ditelusuri kapan tradisi ini berawal. Kesenian ini berkembang ketika masyarakat wilayah pantura sadar bahwa kesenian merupakan hiburan massa.
Menghibur Mereka yang Berpuasa, tapi Tidak Berpuasa
Saat ini yang lazim disebut obrog adalah permainan organ tunggal dengan biduan wanita menyanyikan lagu-lagu dangdut populer. Namun, hal itu berbeda dengan obrog pada masa lalu. Karena merupakan kesenian rakyat, obrog tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan pergeseran selera masyarakat. Menurut Supali, obrog mengalami perubahan dari waktu ke waktu tergantung tren yang sedang berlaku pada masa itu. Obrog zaman dahulu hanya menggunakan alat musik tradisional. Pelakunya hanya laki-laki karena perempuan dianggap tidak pantas keluar malam. Berbeda dengan sekaranng, perempuan seakan wajib ada sebagai penyanyi, sedangkan para lelaki memainkan musik. Hal ini berlaku tidak hanya pada saat membangunkan sahur, tetapi juga pada sore hari saat menjelang buka puasa.
Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Selain pergeseran bentuk, Supali melihat pergeseran orientasi. Dahulu, bermain obrog kental dengan tujuan religius. Atau, kalaupun tidak, bermain obrog didorong unsur kesenangan termain musik.
Bahkan, banyak grup organ tunggal sudah memulai permainannya pukul 22.00. Tentu saja masih terlalu dini untuk membangunkan orang sahur. Sebab itu, ada pihak yang sebenarnya kurang setuju dengan bentuk obrog yang sekarang. Meski demikian, sejauh ini obrog organ tunggal tetap populer. Pihak yang kurang berkenan juga tidak pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan aksi anarkis.
Sekarang, tradisi obrog tak bisa lepas dari tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan. Ini nyata terlihat dari adanya saweran dan pembayaran uang untuk permintaan lagu. Saya pribadi dalam beberapa tahun terakhir, merasakan bagaimana perubahan tradisi ini merupakan sebuah ironi di bulan Ramadhan. Karena tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan tersebut, malah mendorong para ‘artis’ “obrog-obrog” tersebut menghalalkan segala cara.
Di antara mereka tidak jarang tanpa malu-malu membatalkan puasanya dengan meminum air pada saat ngobrog. Selain itu, persaingan ketat antara grup “obrog-obrog” satu desa dengan desa yang lain terkadang membuat mereka saling menghasut dan menjatuhkan. Hal lain yang menurut saya sangat tidak pantas adalah ketika meminta uang di tiap-tiap rumah, mereka memanfaatkan anak kecil yang terkadang ikut-ikutan tidak puasa. Selebihnya, kemunculan grup “obrog-obrog” yang semakin banyak, membuat warga harus mengeluarkan uang lebih banyak ketika mereka datang untuk meminta-minta uang dari rumah ke rumah.
menarik tuh tulisannya…tiap daerah beda2 cara utk bangunin sahur
LikeLike
benar mas Arahman Ali, terkadang ada yang nyaris serupa. terimakasih mas sudah mampir di blog saya 🙂
LikeLike