berdialoglah

aku tak pernah tak tergugah apapun ketika membaca pemikirannya. tak heran ketika sosoknya masih dan terus berpengaruh terutama sebagai salah satu pejuang hak-hak perempuan. seperti baru-baru ini, namanya masuk dalam 500 tokoh muslim dunia paling berpengaruh. dan di Indonesia, dia ada di urutan kedua sebagai pejuang perempuan. pembuatan ranking tokoh muslim paling berpengaruh di dunia ini dilakukan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), sebuah lembaga penelitian independen yang berafiliasi dengan the Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, sebuah NGO Islam internasional, institute independen yang berkedudukan di Amman Jordania. Rangking tokoh paling berpengaruh ini dikeluarkan setiap tahun sekali. ya, sosok tersebut adalah KH. Husein Muhammad. tentangnya, aku pernah bercerita dalam benar, aku menangis. jika dilanjutkan, rasanya terlalu panjang jika aku harus menceritakan siapa sosok asal Cirebon ini lebih banyak lagi. aku hanya ingin sharing tulisannya tentang berdialog yang aku ambil dari fahmina. seperti tulisan-tulisannya yang lain, masih tetap inspiratif. selamat mengambil makna…

Perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan kata atau teks merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia bukan khas masyarakat muslim, tetapi juga semua komunitas manusia. Ia telah muncul sejak manusia ada dan bersama orang lain. Perbedaan pikiran manusia menjadi sangat niscaya. Perdebatan itu pada gilirannya melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran, termasuk mazhab-mazhab keagamaan bahkan ideologi-ideologi sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Pada dimensi fiqh, masyarakat muslim mengenal dua aliran besar, ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y. Aliran pertama cenderung lebih tekstualis (harfiah) dan mempercayai sumber berita, atau nara sumber lebih dari isi berita itu sendiri. Nara sumber yang semula manusia yang pandai pada zamannya (cendekiawan, ulama), dalam perjalanan sejarahnya kemudian menjadi manusia yang acap disakralkan atau paling tidak menimbulkan resisensi sosial ketika ia dikritik. Sementara aliran yang kedua, disebut kaum rasionalis. Kelompok ini lebih melihat pada kandungan atau isi berita lebih daripada nara sumbernya. Nara sumber dihargai dan dihormati sebagai manusia pandai, tetapi bukan tanpa cacat, keliru, salah atau lupa.

Ada pertanyaan-pertanyaan yang selalu disampaikan orang: Apakah teks harus diterima menurut arti lahirnya atau bisa dinalar, di-ta’wîl atau ditafsîrkan dengan akal)? Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa dirasionalkan atau tidak. Bahasa Arabnya : “hal al-ahkâm mu’allalah bi ‘illah am lâ”? Apakah akal bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks berlawanan dengan nalar rasional, logika. Bagaimana pula jika ia, teks itu, bertentangan dengan realitas dan fakta yang kasat mata. Manakah yang harus diprioritaskan, diunggulkan atau diutamakan?. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam dan controversial. Masing-masing menggunakan argument yang tentu saja menggunakan akal.

Sesungguhnya kedua aliran tersebut tidak jauh berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semuanya sepakat bahwa hukum, termasuk hukum Islam, dibuat dan dirumuskan dalam rangka mewujudkan keadilan dan menegakkan kebaikan, ketertiban, kemaslahatan, dan kemakmuran (kesejahteraan) manusia. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam. Mereka menegaskan sebuah kaedah terkenal : “Jalb al-Mashalih wa Dar’u al-Mafasid”, (menghasilkan kemaslahatan dan meniadakan kerusakan). Sebagian ulama bahkan hanya menyebut “Jalb al-Mashalih”(membawa kemaslahatan). Maslahah ditafsirkan sebagai kebaikan, kegunaan, kenikmatan dan kebahagiaan. Sementara Mafsadah diartikan sebagai keburukan, penderitaan, yang sia-sia, yang menyengsarakan dan sejenisnya.

Tetapi mengapa pikiran mereka berbeda?. Ini sesungguhnya merupakan akibat belaka dari perbedaan pemahaman atau pemaknaan mereka atas teks-teks al-Qur’ân maupun Hadits Nabi saw. Masing-masing aliran; tradisionalis maupun rasionalis, atau katakanlah liberalis, sama-sama mempercayai al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai sumber dan dasar hukum. Tidak seorang muslimpun yang ingin menafikan al-Qur’ân dan Hadits Nabi saw. Sebab menafikan keduanya mengakibatkan ia akan kehilangan identitasnya sebagai muslim.

Lalu dari mana dan mengapa orang berbeda-beda dalam memaknai teks? Untuk menjelaskan hal ini, adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Fârûq Abû Zaid dalam bukunya “Al-Syarî’ah al-Islâmiyah baina al-Muhâfizhîn wa al-Mujaddidîn” (Syari’ah Islam antara tradisionalis-konservatis dan modern). Ia mengatakan :

ان مذاهب الفقه الاسلامى ليست سوى انعكاس لتطور الحياة الاجتماعية فى العالم الاسلامى

“Keberagaman interpretasi atas teks-teks keagamaan (aliran-aliran fiqh dalam islam) adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”. (hlm. 16).

Dalam pengetahuan sosial kita sering mendengar adagium bahwa seseorang adalah produk lingkungan sosial dan kebudayaannya masing-masing. Dengan kata lain, pikiran, perilaku dan gaya hidupnya dipengaruhi oleh alam di mana ia hidup dan berkembang. Adagium lain; “seseorang adalah produk zamannya”. Dari sini kita lalu sering mendengar bahwa pikiran dan tindakan seseorang tidak lain kecuali merupakan refleksi dari ruang dan waktunya sendiri, bukan ruang dan waktu yang lain. Dengan begitu, memaksakan keputusan yang dihasilkan seseorang pada suatu tempat dan pada suatu waktu tidaklah selalu tepat dan tidak proporsional untuk tempat dan waktu yang lain.

Apakah perbedaan dan perdebatan itu tidak bisa diselesaikan?. Ini sesungguhnya sangat tergantung pada kehendak masing-masing mereka. Jika mereka berkehendak, maka Tuhan akan memberi mereka jalan. Jika mereka berkehendak maka Tuhan mengajarkan agar mereka menyelesaikannya melalui mekanisme yang beradab. Ia adalah “musyawarah” atau “syura”. “Wa Syawirhum fi al-Amr” (bermusyawarahlah dalam menyelesaikan urusan). Atau “Wa Amruhum Syura Bainahum”(Dan urusan mereka hendaknya diselesaikan dengan musyawarah (bertukar-pikiran). Musyawarah merupakan mekanisme dialog antara para pihak yang berbeda, dalam suasana yang setara dan bebas, tetapi juga saling menghargai dan berpartisipasi aktif dan jujur, serta berniat demi sebuah keputusan bersama yang dikehendaki sekaligus dihormati. Jika sampai pada saatnya tidak dicapai kesepakatan, maka biarlah ia menjadi perbedaan yang tetap harus dihormati oleh masing-masing. Karena orang tidak bisa dipaksa menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya. Mekanisme itu kini boleh jadi bisa bernama “demokrasi”. Sistem ini, meski lahir dari rahim peradaban lain, di dunia lain, Eropa, tetapi kini telah diterima hampir di seluruh dunia muslim. Jadi sangat jelas, penyelesaian atas perbedaan dalam relasi sosial, bukan dilakukan dengan jalan sendiri-sendiri, atau mau menang sendiri, hanya karena besar atau kuat, apalagi dengan menggunakan kekerasan, membunuh, termasuk membunuh martabat manusia. Karena Tuhan memberinya hidup dan kesempatan untuk bergembira.[]